Badan saya adalah tipe yang makan sepiring tapi berat badan akan naik 1.5kg++. Entah kenapa ya, sesedikit apapun makanan yang saya makan, makanan tersebut akan disimpan sebagai lemak perut. Alias ya saya buncit haha.
Saya tahu ini tidak sehat dan oleh karena itu beberapa bulan ini saya sudah merutinkan diri untuk berolahraga. Dimulai dengan jalan kaki setiap hari selama 1 jam, beberapa hari terakhir saya mencoba untuk jogging. Harapannya adalah supaya lebih banyak cadangan lemak di perut ini yang terpakai dan jadi six pack.
Saya tahu itu mustahil sih karena kita ga bisa atur lemak mana yang dibakar, tapi biarlah saya berpikir begitu supaya tetap semangat work out.
Tapi apalah arti perjuangan tanpa halangan. Di beberapa sesi jogging, usaha saya tidak mulus.
Kenapa?
Karena perut saya selalu mules. Di sini dilema terjadi. Satu, saya bisa bersikap optimis, lanjut jogging/jalan sambil menahan mules. Dua, menyerah dan mencari toilet terdekat.
Di situasi ini, pilihan paling rasional dan masuk akal adalah berhenti dan mencari toilet terdekat, meskipun itu berarti harus memutar haluan dan kembali ke titik semula.
Ya iyalah. Kalau tetep maksa jalan mah bisa cepirit itu wkkwk.
Karena lumayan sering terjadi, saya jadi terpikir. Otak saya lalu tanpa sadar menghubungkan pengalaman ini sebuah buku yang sedang saya baca sebulan belakangan. Judulnya adalah Quit karangan Anne Duke.
Seperti biasa, saya membeli versi digitalnya via Amazon Kindle. Kebetulan juga sedang ada diskon sehingga buku ini bisa saya tebus dengan harga seratus ribuan saja.
Halaman pertama dibuka dengan kisah petinju legendaris Muhammad Ali.
Tidak berlebihan kalau kita bilang Muhammad Ali adalah greatest boxer on earth, GOAT di ring tinju. Muhammad Ali adalah sebenar-benarnya petarung. Dia adalah penjewantahan dari kata grit/persistance/perseverance itu sendiri. Pasalnya, di tahun 1967, dia berhasil mengalahkan George Foreman, petinju yang lebih muda, lebih kuat dan secara fisik lebih besar. Fakta lebih mengejutkannya lagi adalah Muhammad Ali berhasil meng-KO lawannya itu di usia 33 tahun dan (seharusnya) sudah melewati masa prime-nya.
But against all odds, Muhammad Ali tetap kembali menjadi juara dunia. Dia bahkan masih bisa naik ring lagi selama 7 tahun dari 1975 sampai 1981.
Kisahnya sangat memotivasi kita bahwa usaha keras takkan mengkhianati, bukan?
Benar, sih but we know how his story ends. Selama rentang 7 tahun itu, kondisi fisik Muhammad Ali udah menurun banget. Secara fisik, tubuhnya udah tidak mampu berkompetisi di level profesional. Di satu pertandingan, Sylvestre Stallone (yes, yang Rambo itu) bahkan mendeskripsikannya dengan “like watching an autopsy on a man who’s still alive”.
Muhammad Ali kemudian diketahui mengidap parkinson dan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan tubuhnya. Ini memang adalah resiko menjadi petinju tapi resiko ini bisa diminimalisir jika Muhammad Ali lebih aware kalau fisiknya tidak lagi sanggup berkompetisi.
Muhammad Ali punya pilihan untuk gantung sarung tinju di tahun 1977 setelah muncul tanda-tanda penurunan di fisik dan mentalnya. Namun, dia menolak menyerah. Grit/persistance/perseverance yang dia yakini membuatnya tetap bertinju. Kekalahan demi kekalahan bahkan melawan seorang rookie tidak juga bisa membuatnya mengerti kalau di satu waktu, dia harus “menyerah”.
Ada lagi cerita soal 3 pendaki gunung Everest yaitu Dr. Stuart Hutchinson, Dr. John Taske dan Lou Kasischke. Di jaman itu, (sebelum tahun 2000an), naik ke puncak gunung ini tuh ibarat pertaruhan hidup dan mati. Bayangin aja, tingginya itu 8,849 meter. 8-kilometer lebih tapi vertikal.
Naik ke gunung ini tentu perlu banyak banget persiapan dan fisik yang prima. Suhu rata-rata di puncaknya aja -26 derajat Celsius. Walaupun begitu, di dunia yang kapitalis ini, ada aja perusahaan-perusahaan yang bisa membantu pendaki, bahkan yang amatir sekalipun, untuk naik ke puncak tertinggi di dunia ini (tinggal bayar $70k aja. Wah murah banget, kan!?).
Jadi gini, walaupun saya ga pernah naik gunung (sorry anaknya mageran), kata teman saya perjalanan ke puncak dan turun ke bawah lagi itu jadwalnya cukup saklek. Jam sekian start, jam sekian sampai base camp 1, jam sekian sampai base camp selanjutnya dan selanjutnya. Semua serba terjadwal. Gimana kalau terlambat? Sangat disarankan untuk putar badan dan kembali aja.
Nah, ketiga tokoh kita ini, Dr. Stuart Hutchinson, Dr. John Taske dan Lou Kasischke, tidak mencapai puncak Everest pada pendakian Mei 1996. Kenapa? Karena mereka tahu mereka tidak akan bisa sampai ke base camp tepat waktu. Mereka dengan bijak mengikuti aturan dan putar balik dan turun gunung di saat anggota rombongan yang lain terus melanjutkan pendakian. Yup, mereka bertiga itu quitters.
Cerita tentang quitters itu tidak menarik dan keren. Walaupun begitu, tapi justru mereka lah yang namanya “abadi” di buku dan film “Into the Thin Air”. Nama mereka juga muncul di film Everest yang rilis tahun 2015 lalu.
Lho, memangnya bagaimana nasib pendaki yang lain?
Sayangnya, tidak ada yang selamat selain mereka bertiga, termasuk expedition leader-nya yang udah amat sangat berpengalaman, Robert Hall. 8 orang diketahui meninggal selama perjalanan turun, menjadikannya pendakian dengan kasus kematian terbanyak ketiga dalam sejarah.
Anggota pendakian lain memang mencapai puncak Everest. Ini pencapaian besar, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mampu menceritakan kisah itu, kecuali Dr. Stuart Hutchinson, Dr. John Taske dan Lou Kasischke.
Bad at quitting
Saat saya membaca Quit, cukup sering saya bergumam sendiri, mengamini apa yang tertulis di situ.
Quitting itu susah dilakukan, terutama di era dimana usia orang-orang sukses (di social media) semakin muda. Liat aja di podcast-podcast bisnis di YouTube. Isi nasehatnya kebanyakan adalah untuk fokus pada mimpi dan tidak menyerah.
Terdengar benar, kan? Tapi di Quit, dijelaskan kalau nasehat ini bisa jadi malah menjerumuskan. Pantang menyerah/grit/persistance/perseverance adalah “bahan bakar” buat stick to our goal. But how if those make us stuck instead? (Stick and stuck. praise me for the word play hahaha)
Punya grit/persistance/perseverance ini bagus, selama hasilnya worthwhile. Kalau udah ga worthwhile, quit adalah tindakan yang benar dan rasional. Pasalnya, banyak yang tidak tahu kapan untuk melakukannya. We are inherently bad to decide when to quit.
Di cerita pendakian gunung Everest tadi misalnya. Udah jelas-jelas bakal telat sampai ke base camp dan resiko pendakian bertambah, tapi beberapa pendaki tetap memilih untuk lanjut. Grit/persistance/perseverance yang mereka punya membuat mereka stick to unworthy goal.
Mereka stuck pada sesuatu yang tidak lagi worthwhile. Atau mungkin mereka berpikir kalau puncak Everest lebih berharga dari nyawa sendiri?
Menurut Anne Duke, ada beberapa alasan kenapa kita bad at quitting:
- Euphemism: grit = good, quit = bad. Ini bikin orang-orang yang memilih untuk quit dapat stigma buruk dari society dan pada akhirnya terjebak dalam rat race (anzay).
- Escalating of commitment: semakin kelihatan salah langkah, kita cenderung men-double down effort yang dikeluarkan. Dan karena udah terlanjur, makin sulit untuk quit dan ganti haluan. Contohnya ehem KCIC.
- Sunk cost: mirip seperti no dua. Semakin banyak effort yang udah dilakukan, semakin sulit untuk quit.
- Identity: Kalau yang kita lakukan udah menjadi identitas, makin sulit untuk berhenti.
Di Quit ada 4, namun dalam bahasa Indonesia, poin-poin tersebut bisa disederhanakan dalam satu kata: terlanjur.
Terlanjur keluar duit banyak, terlanjut kerja dari pagi sampai sore, terlanjut sayang dan terlanjur-terlanjur yang lain bikin kita punya kecenderungan untuk stuck di something yang udah tidak lagi worthwhile.
Terus gimana solusinya?
Di Quit gampang aja: quitting coach wkwkw. Tapi ini tidak applicable lah ya buat orang biasa kayak saya. So, ini lebih baik kita lewati saja ya.
Solusi lainnya adalah dengan kill criteria dan expected value.
Kill criteria ini mengharuskan kita mengidentifikasi “milestone” yang ingin dicapai sebelum melakukan sesuatu. Misal, mau switch career dari pekerja kantoran ke enterpreneur, mau jualan baju misalnya. Kill criteria-nya adalah omzet 50 juta di bulan ketiga. Jika di bulan ketiga omzet tidak sampai 50 juta, it is rational to quit. Entah berganti jadi jual makanan atau balik jadi kantoran.
Selanjutnya adalah expected value. Konsepnya sederhana, kalau kamu punya 100k dan pinjol 100k, ini jelas expected value-nya bisa minus. Ya emang bisa jadi jutaan, tapi probability-nya kecil, kan. So, pinjol is big no. Di Quit, expected value ini bisa diterapkan ke kesehatan, hubungan dll, jadi ga cuma untuk sesuatu yang materialistik. Tapi ya jauh lebih mudah kalau ukurannya adalah angka.
Counterintuitive tapi ada benarnya
Saya butuh satu bulan buat menghabiskan Quit. Cukup lama karena terdistraksi Solo Leveling isinya counterintuitive dan beda dengan pandangan umum.
Di dunia yang suka kisah from zero to hero, memilih untuk berhenti itu susah dan bahkan bisa jadi bahan cibiran. Memang begitulah cara kerjanya. Quitting on time seringkali terasa seperti quitting too early karena orang-orang terdekat akan sulit mengerti dan setuju dengan keputusan kita.
Membaca buku ini ada baiknya dilanjutkan (atau didahului juga ga masalah) dengan membaca Grit karya Angela Duckworth.
Kenapa?
Buat jaga-jaga saja supaya tidak memilih keputusan yang mudah dan malas hehe.
Leave a Reply