close up photography of cup of coffee

Cangkir tanpa tutup

Tadi malam, aku menghadiri pertemuan komunitas Kristen untuk profesional muda.

Awalnya kupikir ini hanya akan menjadi sesi rutin; ngobrol, nyanyi, baca alkitab terus pulang. Tapi aku tidak menyangka bahwa satu bagian Alkitab akan begitu menghantamku dalam-dalam—Efesus 3:14–21.

Aku sudah pernah mendengar ayat ini sebelumnya. Aku tahu maksudnya: Tuhan sanggup melakukan jauh lebih banyak dari yang kita minta atau pikirkan. Aku tahu itu. Aku bahkan sering mengutipnya. Tapi entah kenapa, aku belum benar-benar percaya.

Yang aku perjuangkan selama ini adalah soal waktu-Nya.

Ya, aku tahu Tuhan itu baik, penuh kuasa, dan mampu melakukan mukjizat. Tapi aku ingin semua itu terjadi SEKARANG. Dan ketika tidak terjadi sesuai harapanku, aku secara naluriah kembali mengandalkan diri sendiri. Usahaku. Disiplinku. Kerja kerasku.

Di pikiranku, kebaikan Tuhan tak terbantahkan (siapa orang Kristen yang tidak tahu ini)—tapi sering terasa terlalu jauh, terlalu lambat.

Namun, sesuatu berubah tadi malam.

Saat orang-orang membagikan kisah hidup mereka, aku merasa seperti sedang mendengarkan bagian dari hidupku sendiri. Mereka berasal latar belakang sulit, penuh luka, dan tetap bisa teguh beriman. Dari cerita-cerita mereka, aku merasa dikuatkan dan yang lebih penting, diingatkan kembali. Hidup mereka tetap penuh tantangan dan masalah. Tapi mereka berdiri di sana dengan sukacita dan keyakinan—bukan karena siapa mereka, tapi karena siapa Tuhan itu.

Aku pun tanpa sadar teringat dari mana aku berasal. Aku seharusnya tidak berada di titik ini—menjadi seorang supervisor keuangan di perusahaan fintech di SCBD sana. Ayahku tidak lulus kuliah, in fact, hanya lulusan SMP. Jika dunia berjalan berdasarkan pola “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” mungkin aku tidak akan punya banyak pilihan dan tidak ada di posisi ini sekarang.

Tapi entah bagaimana, Tuhan merancang ulang diriku. Dia mengambil latar belakangku, menulis ulang ceritaku, dan menciptakan sesuatu yang indah darinya. meminjam kata-kata seorang teman semalam, saya di-repackage, diambil dari pohonnya, dicuci bersih, diberi label dan dijual di supermarket.

Seorang teman berkata dengan tepat: “Itu pekerjaan Tuhan.”

Dan dia benar.

Aku sadar, selama ini aku mencoba mengelola berkat Tuhan dengan hati yang tertutup—berdoa hanya sebagai rutinitas, hadir karena kewajiban, dan melewatkan waktu personal dengan Tuhan.

Tapi tadi malam, aku diingatkan:

Aku perlu berlutut.

Aku perlu menjadi cangkir tanpa tutup.

Kasih Tuhan tidak terbatas. Kuasa-Nya tidak dikekang oleh waktu versi kita. Dan Dia tidak menunggu kita menjadi sempurna dalam iman untuk mencurahkan kasih-Nya.

Tulisan ini adalah pengingatku—saat aku mulai sok kuat lagi, saat keraguan kembali muncul, saat aku lupa sejauh apa Tuhan telah membawaku.

Aku ingin terus ingat bahwa berserah itu bukan kelemahan. Itu adalah kepercayaan. Itu berarti: “Aku akan melakukan bagianku, God will do the rest”

Jadi, the next big thing to do adalah aku akan terus berdoa. Aku akan merendahkan diri dan berlutut.

Dengan hati yang terbuka lebar.

Seperti cangkir tanpa tutup.


Note: Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui pembaca. Penulis bukan pendeta dan ilmu agamanya juga tidak seberapa. Tulisan ini hanya untuk dibaca. Jika kamu menjadi tergerak, percayalah itu karena Tuhan saja.


Category:

Up next:

Before:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *