Formula wan

Kalau ada satu olahraga yang saya buta sama sekali, salah satunya adalah Formula One. Buta karena olahraga ini terkesan sebagai olahraga kaum privilege yang notabene tidak bisa dimainkan warga proletar. Plus, why is driving a car considered a sport? I just don’t get it.

Padahal, bapak saya kalau boleh jujur cukup Moto GP geek, yang kayaknya agak-agak mirip Formula 1 ini. But again, there is no urgency for me to dig deeper about this “sport”.

Then muncullah Drive to Survive di Netflix. Ini pun tidak meninggalkan impresi yang gimana-gimana banget ke saya. Then muncullah F1: The Movie. That’s when I think this sport is exciting.

Menilik orang-orang di balik layar, nampaknya excitement saya cukup beralasan. Ada Joseph Kosinski di kursi sutradara. Beliau adalah orang yang sukses membikin Top Gun: Maverick sebegitu serunya ditonton, dan dia sedikit banyak menerapkan magisnya di F1: The Movie.

Dan lagi, kalau Top Gun: Maverick di-“carry” karisma Tom Cruise, F1: The Movie di-“carry” Brad pitt. Sangat lakik sekali, bukan?

Sinopsis

F1: The Movie mengikuti kisah Sonny Hayes, seorang never-was di arena balap jet darat. Sonny adalah seorang “nyaris menjadi” pemenang, sosok berbakat yang sayangnya meredup terlalu cepat.

Sonny pernah beradu cepat sejajar dengan nama-nama besar seperti Schumacher di usia muda. Intinya, Sonny adalah promising talent gara gaya balapnya yang agresif, tapi ya itu tadi, dia tak pernah menginjak podium.

Kenapa? karena dia mengalami kecelakaan fatal di GP Spanyol 1993.

Kecelakaan itu bukan cuma membuatnya pensiun dini dari Formula 1, tapi juga meremukkannya sebagai manusia. Sonny sekarang adalah pembalap for hire, penjudi dan tanpa benar-benar pernah punya keluarga.

Puluhan tahun berlalu. APEX GP, newly born team yang nyaris bangkrut, mencari harapan terakhir. CEO-nya, Ruben Cervantes, mantan rekan satu team Sonny dulu, memberikan an offer Sonny can’t refuse: kembali ke lintasan. Bukan sebagai mentor untuk rookie driver (ini juga sih indirectly), tapi juga sebagai pembalap.

Pasangan barunya adalah Joshua Pearce, rookie driver yang berbakat, haus sorotan, dan penuh ego. Joshua dan Sonny jelas tidak akur bahkan sejak hari pertama mereka di APEX GP. Relasi mereka bagai minyak dan air. Tapi demi poin pertama APEX GP, Sonny pelan-pelan “menuntun” Joshua untuk meraih pole untuk pertama kalinya, dengan cara-cara yang “tidak biasa”.

Cara balap dan instruksi Sonny membuahkan poin demi poin buat APEX GP. Tapi di satu race, dimana Joshua hampir mendahului Versteppen (kalau tidak salah), dia mengalami kecelakaan fatal. Sonny disalahkan atas hal itu, tapi show must go on. Sonny kembali balapan untuk APEX GP ditemani pembalap pengganti (yang saya lupa namanya, sorry) sementara Joshua terus berusaha memulihkan tubuhnya.

Surprisingly, Sonny dan pasangan barunya itu malah panen poin tanpa Joshua. Once he comes back, Joshua malah berulah dan membuat keduanya tidak bisa melanjutkan balapan. Mengetahui ketegangan antara keduanya, Kate mengajak Joshua dan Sonny bermain poker, hoping such bonding between these two drivers. And that works!

Saat APEX GP mulai membaik di lintasan, masalah sebenarnya kini baru bermunculan. Penyebabnya karena ada villain sesungguhnya di team: Peter Banning. Dia adalah board member yang ingin APEX GP dijual, dan dia menghalalkan cara apapun, termasuk melaporkan modifikasi “ilegal” ke FIA (semacam FIFA-nya balapan F1) dan bahkan mengusulkan perekrutan Sonny.

Yup. Sonny sebenarnya sudah tidak layak beradu di lintasan lagi. Kondisi fisiknya sudah tidak mampu. Tapi “berkat” Peter, Sonny berkumpul kembali dengan Ruben sebagai driver dan principal.

Sonny sempat patah arang saat mendengar pengakuan Peter. Namun di race terakhir di Abu Dhabi, di detik-detik terakhir, Sonny bangkit. Dan bukan cuma dia saja, tapi seluruh team APEX GP termasuk Joshua.

Dan di seri penutup itu, takdir mengambil peran vital bermain: red flag, pit stop sempurna, dan dua pembalap—veteran dan rookie—mengejar three laps of a lap time. Sonny dan Joshua berkejaran dengan Lewis Hamilton di posisi pertama. Sonny attack, Hamilton defense, dan Joshua menyelinap masuk. That’s the plan tapi di tikungan terakhir, Joshua dan Hamilton saling bertabrakan, dan Sonny melaju mulus ke kemenangan pertamanya.

Impression

F1: The Movie unarguably indah, immersif dan estetik sekali secara visual. Adu jet daratnya difilmkan tanpa banyak CGI. Debu-debu, batu-batu, serpihan ban yang melayang di aspal membuat visualnya pleasing sekali di mata. Peletakan kamera-kamera di mobil juga mendukung peningkatan adrenaline penonton. Sinematografinya bikin film ini akan terasa kena debuff kalau ditonton di laptop. Jujur saja, sensasinya mirip-mirip kayak kamu nonton Top Gun: Maverick (btw sutradaranya juga sama so no wonder lah ya).

Sektor suaranya juga top notch. Deru mesin dan decit remnya sangat eargasm. Kalau balapan jalanan suara mesinnya kayak gitu, saya rela sawer mereka sih. Selain itu, let’s talk about Hans Zimmer. He is literally never made bad OST! Scoring buatannya sukses mengisi celah-celah drama plus membuat momen balap-membalap semakin intense.

You really need to hear F1, man.

Problem saya cuma satu: story. Sebagai penonton anime bertema sport, F1: the Movie is nothing special, really. It is generic, a bit plain, but untungnya mereka punya Brad Pitt. Relasi senpai-kohainya pun honestly lebih terasa di Cars yang notabene film animasi.

Pace-nya cepat, dengan switch ke konflik, balapan, dan pengungkapan rahasia Sonny berlangsung beruntun. Ini terkesan terburu-buru, padahal durasinya sudah 2 jam 30 menit. Di durasi sepanjang itu, kedalaman karakter terasa minim, kecuali untuk Sonny Hayes. Joshua pun terasa dangkal, padahal dia muncul. Memang ada upaya untuk “memainkan” trauma masa lalu, rivalitas antar generasi, dan pencarian makna kemenangan. Tapi ya itu tadi, semuanya nyaris disinggung hanya sampai permukaan saja.

From a non-fan

Banyak yang bilang kalau F1: The Movie memang ditujukan untuk penonton awam, seperti saya ini. Scene-scene balapannya beneran intense dan memacu adrenalin. Ditambah sinematografi yang kadang berubah menjadi sudut pandang first person, F1 jelas menjadi tontonan yang menarik bagi non-fans. Walaupun di awal-awal agak membingungkan terutama saat ngomongin aturan dan term-term balap (strategi warm-up lap, red flag, dll), but I am pretty sure kamu akan grasp the meaning saat layar bioskopnya menyala.

Sayangnya, pendeketan realisme yang coba diusung film ini agaknya menjadi pedang bermata dua. Bagus di mata non-fans, tapi mendapat kritikan dari penonton yang memang udah nge-fans. Pasalnya strategi balap APEX GP (Sonny, this is pointing to you), terbilang tidak realistis. Manuver Sonny dan team APEX GP sudah tidak bisa dideskripsikan lagi dengan kata agresif, tapi sembrono. Ya gimana ya, Sonny ini dengan sengaja memancing senggol-senggolan atau bahkan menabrakkan diri supaya menciptakan situasi safety car demi keuntungan tim. Di mata non-fans, seperti saya, ini jelas keren dan terlihat cerdik. Tapi buat fans, ini jelas fiktif. Trik-trik seperti itu bakal kena banned dari federasi karena mengundang tuduhan sabotase.

Bagi penggemar hardcore F1, manuver seperti ini bisa dianggap melanggar integritas olahraga dan jelas tidak akan lolos dari sanksi FIA di dunia nyata.

But anyway, mulai saat ini saya akan rutin mengikuti balapan F1. Seseru itu guys.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *