Mission Impossible: punya rumah

Di jaman sekolah dulu, kita diajarkan kalau kebutuhan dasar manusia itu ada 3, yaitu pangan, sandang dan papan. Papan ini merujuk ke rumah, yang saat ini harganya makin melambung tak karuan. Walaupun begitu, punya rumah sendiri memang sebuah pencapaian hidup. Ini mungkin yang ada di pikiran Kaluna, karakter utama dari film Home Sweet Loan yang kisah hidupnya lebih horror dari Pengabdi Setan 🗿

Jalan cerita

Warning: saya akan usahakan seminim mungkin spoiler. But, karena semua orang bisa khilaf, silahkan di-skip saja bagian ini.

Karakter utama kita namanya Kaluna. Walaupun tidak dijelaskan secara gamblang, saya rasa Kaluna ini umurnya sekitar 25 < x < 30 tahun. Dia kerja di perusahaan swasta, di bagian (kayaknya) General Affair. Saya menduga hal ini karena Kaluna yang mengurusi tiket orang-orang dan juga inventory kantor.

Di kantor itu, Kaluna berteman sama Tanish, Mia dan Danan. Sorry to say, karena dia kerja di cost center, gajinya Kaluna terbilang paling rendah dibading keempat temannya itu. But, dia juga yang paling financialy-savvy. Kaluna mencatat semua pengeluarannya, bahkan kopi pun dia catat. Goks.

Kaluna melakukan semua itu demi satu tujuan: punya rumah sendiri.

Kenapa Kaluna mau punya rumah sendiri?

Karena dia merasa terasing di rumahnya sendiri. Rumah Kaluna ini sumpek pol. Ada 3 keluarga plus Kaluna yang tinggal di rumah warisan engkongnya itu. Kaluna sendiri bahkan harus tersingkir ke kamar pembantu saking sumpeknya. Ini membuat Kaluna makin bersemangat untuk menemukan rumah impiannya sendiri.

Ya tapi sebagaimana pekerja kantoran biasa, duit buat DP (down payment)-pun sulit terkumpul. Well, Kaluna sendiri sebenarnya sudah punya 350-an juta, but tetap aja ga bakal kesampaian itu impian. Untungnya, ada secercah harapan saat kantornya memberikan bantuan kredit perumahan untuk para karyawan.

Kaluna girang banget mendengar kabar ini. Dia bersama Tanish, Mia dan Danan makin sering keliling survei mencari rumah yang pas. Setelah keliling kesana-kemari, Kaluna akhirnya menemukan apa yang dia cari.

Masalah selanjutnya adalah uangnya. Kaluna memang punya cukup uang buat DP, sisanya bisa di-cover KPR karena toh juga baru saja approved sama bank. Tapi masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Kakaknya ternyata membeli tanah yang sertifikatnya ganda. Nah, duit buat tanah itu asalnya dari duit tabungan pensiun bapak plus pinjol dengan sertifikat rumah bapak juga sebagai agunan. Double fucked.

Family above all, dan Kaluna merelakan duitnya buat membantu kakaknya. Impiannya punya rumah sendiri pun kandas. Peristiwa ini cukup memberi shock therapy ke Kaluna. Dia jadi agak berubah jadi lebih YOLO, walaupun tipis-tipis.

Long story short, sampai akhir film, Kaluna belum mendapatkan rumah yang dia damba-dambakan. Perjalanannya masih panjang, tapi setidaknya Kaluna tidak melewatinya sendirian lagi.

Impression

Mari kita awali dari hal yang bagus dulu. Home Sweet Loan terbilang film yang bisa mudah banget mengena di hati audience-nya.

Sumpah, Kaluna ini kayak menggambarkan diri saya plek-ketiplek, deh. Pulang pergi lepek rumah-kantor berdiri naik TransJakarta. Pakai HP non-iPhone, dan earphone TWS 200 ribuan yang besar betul ukurannya itu. Plafon kamar saya dan Kaluna pun sama-sama jebol gara-gara kucing oren yang tawuran.

Anyway, kalau ditarik lebih jauh lagi, kehidupan Kaluna benar-benar potret jelas dari banyak pekerja Jakarta. Gaji yang pas-pasan, tangga karir yang tidak jelas dan resign ke tempat baru pun lagi sulit. Lengkap sudah. Kondisi ini membuat rumah menjadi barang super mewah yang butuh 19x gaji untuk didapatkan. Kaluna dan kisah hidupnya ini sangat dekat dengan realita, terutama bagi mereka yang berada di fase hidup “sandwich generation“, di mana kebutuhan pribadi seringkali terhimpit oleh tanggung jawab terhadap keluarga.

Motivasi Kaluna untuk punya rumah juga disajikan dengan baik menggunakan teknik show-don’t-tell. Ini membuat perjalanan emosionalnya terasa alami dan mudah dipahami penonton tanpa perlu dialog panjang dan berlebihan. Satu lagi yang bikin film ini punya nilai lebih adalah karakter abang Kaluna. Meski mukanya bijaksana, dia seringkali bikin penonton gregetan dengan keputusan-keputusan yang sembrono dan tidak punya adab (I mean, minimal say sorry lah ke adikmu hey Kanendra 😡).

Persahabatan Kaluna dan teman-temannya juga terasa sangat natural di dalam film. Dialog antar karakter tidak dibuat-buat dan mereka bisa membicarakan hal serius tanpa kesan kaku atau canggung, sesuatu yang seringkali sulit ditampilkan dalam film lain. Bahkan, rumah tempat Kaluna tinggal juga seakan menjadi “karakter” tersendiri. Meski benda mati, rumah itu bisa terasa seperti teman yang supportive tapi di beberapa momen agak “pushy” ke Kaluna.

Satu hal lain yang patut diapresiasi adalah bagaimana film ini tidak memilih ending yang klise. Tidak ada tuh cerita Kaluna tiba-tiba dapat promosi besar atau menikah dengan orang kaya. Endingnya sangat realistis, memberikan kesan bahwa hidup tidak selalu berakhir dengan solusi yang mudah. Ditambah lagi, soundtrack yang digunakan sangat menyentuh dan benar-benar menambah kedalaman emosi dalam setiap adegan.

Namun, ada beberapa hal yang terasa kurang dalam film ini. Transformasi karakter Kaluna dari yang pelit jadi lebih YOLO hanya terlihat dalam satu adegan, yaitu pas Kaluna dan teman-teman pesan puding di resto AYCE. Terasa kurang aja gitu.

Selain itu, ada beberapa product placement yang terasa terlalu terang-terangan, hampir mirip seperti di sinetron, meski masih bisa diterima. Durasi film juga terasa sedikit terlalu panjang, dengan beberapa subplot seperti romansa antara Kaluna dan Danan yang seakan muncul tiba-tiba tanpa pengembangan cerita yang cukup.

All in all, secara keseluruhan, Home Sweet Loan adalah film yang berhasil menggambarkan perjuangan hidup sehari-hari dengan cara yang menghibur, menyentuh tapi tidak terasa preachy. Cocok ditontonbuat kita-kita yang sedang berada di persimpangan antara impian pribadi dan realita hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *