Anak muda Indonesia konon katanya tidak bisa beli rumah. Kalau menurut artikel ini, penyebabnya adalah karena harga properti (rumah dan apartemen) yang kenaikannya lebih cepat dibandingkan kenaikan rata-rata gaji. Ini nantinya membuat semakin banyak anak-anak muda yang “give up” dan malah mengalokasikan uangnya untuk hal-hal seperti travelling dan/atau kegiatan lain yang berbasis experience.
Fortunately, saya tidak termasuk dalam kategori itu. Ini karena saya sudah mengalokasikan gaji saya untuk rumah sejak saya pertama kali bekerja. Tapi ironisnya, keputusan ini adalah keputusan yang paling saya sesali dari segi finansial dan juga emosional.
Secara finansial jelas ini memaksa saya untuk berhemat, sehemat-hematnya. Financial planner bilang, TOTAL cicilan baiknya tidak lebih dari 30% dari penghasilan. Sayangnya di kasus saya, dulu cicilan apartemen bisa mencapai 50%++ dari penghasilan. Ini berarti saya punya room yang kecil untuk investasi atau mengembangkan diri dan room yang lebih besar untuk terjebak judi dan pinjol wkwkk.
Untungnya lambat laun saya bisa memperbaiki keadaan finansial saya dan sekarang punya room yang lebih lega untuk berfoya-foya *eh.
Dari segi emosional, punya dan tinggal di rumah/apartemen sendiri itu adalah sebuah keputusan besar, baik bagi diri saya sendiri maupun bagi orang tua.
Dari sisi saya sendiri, saya harus siap meninggalkan kenyamanan yang sudah saya rasakan bertahun-tahun. Ga repot masak. Ga repot bersih-bersih. Nyaris ga repot akan apapun. Pas saya tinggal sendiri di apartemen, apapun mesti dilakukan sendiri.
Tapi dari sisi orang tua? Jujur ini saya tidak tahu. Saya juga takut (atau merasa perlu) untuk mencari tahu. Namun untungnya kemarin saya menyempatkan diri menonton How To Make Millions Before Grandma Dies.
Disclaimer. After this part, there will be major spoiler dari filmnya. Kalau kamu anti sama spoiler, segera close tab ini, mandi dan pergi ke bioskop. Sekarang.
Kalau kamu search film ini di Internet, niscaya kamu akan disarankan untuk membawa tissue. Saya mengamini hal ini karena memang ceritanya se-relateable itu.
MC kita disini namanya M (ini bukan codename spy btw). Dia ini gen z yang masuk kategori seperti di berita-berita: tidak bekerja dan tidak bersekolah. M waktu kecil adalah tipikal anak yang sering juara kelas, tapi menjelang lulus SMA, dia ga tau mesti ngapain. Karena dia suka main game, M jadi ingin game streamer tapi sayangnya tidak berhasil.
M jadi nganggur dan memilih untuk merawat neneknya, Meng Ju. Kalau kamu berpikir M adalah anak yang berbakti, kamu salah. M merawat neneknya karena ingin mendapat warisan sepeninggal neneknya (next akan saya panggil sebagai Amah).
Meng Ju ini menurut saya adalah tipikal orang tua yang Asia banget. Sayang anak dalam diam cenderung keras. Ini mungkin akibat dari kehidupan Amah dulu yang serba kekurangan.
Karena sifat Amah ini, hubungan Amah dengan anak-anaknya menjadi agak berjarak, apalagi sekarang anak-anaknya sudah dewasa dan punya hidup masing-masing di luar rumah.
Siapa aja anak-anaknya?
Ada Kiang si anak pertama. Dia tumbuh jadi orang sukses dan matrealistis yang kerjanya main saham di rumah. Lalu ada Chew si anak tengah. Dia kerja serabutan di supermarket. Dia tahu hidupnya berat tapi tidak pernah menganggap uang sebagai tolak ukur kebahagiaan. Anak terakhir adalah Soei Dia ini masuk kualifikasi sterotype anak bungsu yang manja dan pemalas. Selalu dibantu orang tua dan sulit jadi mandiri. Nah si M ini adalah anaknya Chew.
Karena statusnya “cuma” cucu, M ini mesti berhasil mendapatkan hati Amah dan melangkahi posisi Kiang dan Soei sebagai “anak kesayangan Amah”, sebuah konsep yang sia-sia sebenarnya.
Dengan tujuan itu, M pindah dan memutuskan merawat Amah di rumah sederhana yang saya perkirakan letaknya strategi karena lokasinya seperti di distrik pertokoan.
Selama tinggal bersama Amah, M banyak belajar untuk mengenal Amahnya itu lebih jauh. M jadi tahu kalau Amah selalu memakai baju bagus di hari Minggu, hari dimana anak-anaknya datang berkunjung. M juga belajar membuat dan menjual “congee”. Ini makanan semacam bubur beras gitu lah.
Namun lama-lama niat sesungguhnya M ini ketahuan oleh Amah. Tapi sikap Amah kepada M tidak berubah barang sedikit pun.
Lambat laun, kesehatan Amah makin memburuk. Kanker sudah menggerogoti tubuhnya. Kiang yang matre sibuk mendesak Chew untuk meminta jatah warisan. Surprisingly (buat saya), yang mendapat warisan adalah Soei, si anak bungsu.
Bangsatnya adalah Soei, malah memasukkan Amah ke panti jompo instead of mengurus ibunya sendiri! Asli saya jadi ikut-ikutan marah sama Soei.
Kita kembali ke M. M jelas marah. Sejak tahu dia tidak dapat apapun, M tidak pernah lagi mengurus bahkan bertemu sama Amahnya itu. Tapi berkat nasehat ibunya, M berubah. Dia ke panti jompo dan merawat Amah di rumah ibunya. Bukan cuma itu, M juga membuat pamannya, Kiang dan Soei, kembali berhubungan baik dengan Amah.
M sudah legowo kalau dia tidak dapat apapun. Dia kini merawat Amah semata-mata karena simpati, empati dan sayang sama Amahnya itu. Namun, begitu Amah meninggal, M baru tahu kalau Amah sudah bertahun-tahun melakukan “janjinya” pada M.
Di 30 menit terakhir filmnya, saya bisa merasakan bagaimana karakter M ini bertumbuh. Di awal durasi, M terobsesi dengan mendapatkan warisan dari Amah. Sikap baiknya semata-mata supaya menjadi nomor satu di mata Amah. Namun pelan tapi pasti, M menjadi lebih peduli dan bertanggung jawab. Ini menunjukkan bahwa kesetiaan dan kasih sayang tidak bisa diukur dalam materi. Dia (dan juga penonton) akhirnya menyadari betapa berharganya hubungan antar anggota keluarga.
15 menit terakhir adalah part yang paling memberikan impact buat saya. Film ini seolah memberitahu saya kalau orang tua kadang punya caranya sendiri (yang kadang tidak bisa dipahami oleh nalar kita sebagai anak) dalam menyangi anak-anaknya.
I mean saya yang cuma penonton ini sempat marah lho sama Amah saat Amah malah memberi warisan ke Soei, instead of Chew misalnya.
At last, How To Make Millions Before Grandma Dies ini seakan menjawab pertanyaan saya di awal tadi, yaitu tentang bagaimana perasaan orang tua saat melepas anaknya tumbuh dewasa.
Berat dan kesepian.
Leave a Reply