landscape photograph of body of water

Kekhawatiran dan berpengharapan

Bagaimana kalian menghabiskan hari libur panjang ini? Some of you mungkin mudik. Some mungkin pergi main-main ke pantai/gunung di luar kota. I bet very little of you spend holiday like me, diam di rumah/kosan. Tidak ngapa-ngapain but meratapi nasib dan mengkhawatirkan masa depan.

Libur panjang seharusnya menjadi masa-masa rehat dan melemaskan otot-otot kepala yang sudah diperas hari-hari ke belakang. Tapi hal ini tidak berlaku buat saya. Di masa-masa ini, in this economy, a lot of things happen in my head, dalam bentuk kekhawatiran.

Ini lalu me-recall kembali ingatan saya atas khotbah Minggu kemarin yang judulnya klise banget: Jangan Khawatir.

Khawatir = -iman

Ada satu hal menarik yang saya dapat dari khotbah minggu kemarin, yaitu khawatir adalah kebalikan dari iman.

Apa sih iman itu?

Ibrani 11:1: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Hence, kebalikannya berarti segala sesuatu yang TIDAK kita harapkan dan sesuatu yang SEOLAH-OLAH kita lihat. Itulah kekhawatiran.

Mungkin ini kenapa saya (dan mungkin kita), bisa merasa khawatir. Hal-hal buruk yang cuma ada di kepala jadi terlihat sangat-sangat nyata.

Trigger-nya pun sederhana banget: internet dan gadget.

Bergelut di social media

I bet you pernah scrolling Instagram atau TikTok, melihat teman-teman dan saudara yang tampaknya memiliki kehidupan sempurna, lalu merasa iri hati? Tenang, saya sering begitu, kok. Mereka dengan karir cemerlang di perusahaan besar, foto liburan ke destinasi eksotis, atau momen bahagia bersama keluarga. Sementara saya di sini, duduk sendirian, merasa kecil dan rendah diri.

Scrolling media sosial memang menjadi “ritual” yang guilty pleasure. Bikin nagih tapi bikin iri hati. Setiap post seakan berteriak: “Lihat! Mereka sudah mencapai ini semua!” Teman kuliah yang sudah menjadi manajer, sepupu yang membeli rumah baru, atau kenalan yang berkeliling dunia. Sedangkan saya? Saya berkutat dengan ketidakpastian in daily basis. Berstatus sebagai non-karyawan membuat saya mempertanyakan hal yang sama tiap bulan: “Apakah penghasilan bulan depan akan cukup?”

Menghadapi kekhawatiran

Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa jalan kita akan mudah. Bahkan Daud, orang yang berkenan di hati Tuhan, pernah menulis dalam Mazmur 13:2-3: “Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?”

See? Daud aja pernah sekhawatir itu. Daud is one of us.

Sebagai non-karyawan, khawatir menghadapi ketidakpastian bisa terasa mencekik. Tidak ada jenjang karir yang pasti, tidak ada gaji tetap yang bisa diandalkan. Setiap bulan seperti memulai dari nol, dengan pertanyaan yang sama: “Apakah ini cukup?”

Lalu gimana cara kita menghadapi kekhawatiran?

Dari khotbah Minggu kemarin, jawabannya mudah: miliki iman.

Bagaimana cara memiliki iman yang setia?

Jawabannya gampang: berdoa.

Tapi, jawaban gampang dan sederhana seringkali adalah yang paling sulit dieksekusi, terlebih di era serba instan seperti sekarang ini.

Budaya serba instan

Kita hidup di era di mana hampir semua hal bisa didapatkan dengan sekali klik. Makanan diantar dalam 30 menit. Pesan terkirim dalam hitungan detik (dibalas bisa seminggu karena dibalas dalam hati). Film dan musik tersedia seketika. Bahkan transaksi bisnis bisa diselesaikan dalam sekejap mata.

Budaya serba instan ini tanpa sadar telah membentuk cara kita berhubungan dengan Tuhan. Kita menginginkan jawaban doa secepat kita mendapat notifikasi di handphone. Saya (dan mungkin kalian juga) berharap pertolongan Tuhan datang semudah memesan ojek online. Kita ingin mukjizat terjadi secepat mendapat views di TikTok.

Padahal waktu Tuhan adalah yang terbaik, dan yang terbaik jelas belum tentu yang tercepat.

Saya menjadi semakin tidak sabaran. Saya jadi ingin memaksakan waktu saya menjadi seolah-olah waktu Tuhan. Saat menghadapi kekhawatiran, saya mau doa saya dijawab secepat saya mengucapkan amin.

Saat tidak dijawab saat itu juga, saya lalu jatuh kepada hal-hal lain yang memberikan instant gratification atau kenyamanan sementara.

Jebakan Kenyamanan Sementara

Entah it’s just me atau tidak, godaan instant gratification menjadi semakin kuat justru di saat kita berada di titik terendah. Saat khawatir tentang keuangan, saat kesepian menyerang, atau saat kita merasa tidak berharga, kita memiliki tendensi untuk mencari pelarian yang tercepat dan termudah.

Makan berlebihan, menghabiskan waktu berjam-jam scrolling media sosial, menonton tanpa henti, atau mencari kepuasan fisik sesaat – semua ini menawarkan “solusi” cepat untuk meredakan khawatir dan rasa sakit. Semuanya mudah diakses dan memberikan kenyamanan instan. Namun seperti yang diingatkan dalam Galatia 5:17: “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki”.

Yang berbahaya adalah ketika perilaku mencari kepuasan instan ini menjadi pola yang berulang. Setiap kali kita merasa terpuruk, otak saya (atau mungkin juga kita) secara otomatis mencari jalan pintas menuju kenyamanan sementara, alih-alih mencari pertolongan Tuhan. Bahkan di saat-saat baik pun, kita menjadi terprogram untuk mencari dopamin ini, menciptakan siklus ketergantungan yang tidak sehat.

Kepuasan sementara ini hanya memberikan harapan palsu. Seperti plester yang ditempelkan pada luka dalam, ia mungkin memberikan kelegaan sesaat, tapi tidak menyembuhkan luka yang sebenarnya. Sementara kita sibuk mencari pelarian demi pelarian, akar masalah tetap tak tersentuh, dan jarak antara kita dengan Tuhan justru semakin melebar.

Kedamaian sejati dalam penantian

Di tengah godaan mencari kepuasan instan, memahami waktu Tuhan menjadi semakin menantang.

Kita ingin jawaban SEKARANG. Kita ingin solusi SEGERA. Rasa tidak sabar ini semakin diperkuat oleh kebiasaan kita mendapatkan kepuasan instan dalam hal-hal duniawi. Namun Tuhan memiliki waktunya sendiri, dan itu sering kali berbeda dengan waktu yang kita inginkan, seperti yang pernah tertulis di Yesaya 55:8: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.”

Mungkin inilah salah satu ujian terberat iman di zaman sekarang – bagaimana tetap percaya pada timing Tuhan ketika dunia mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dan bisa didapat sekarang juga.

Menanti dalam Pengharapan

Mungkin saat ini kamu merasa seperti sedang berjalan dalam kegelapan. Kamu tahu Tuhan ada di sana, tapi kadang rasanya pertolongan-Nya begitu jauh. Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah terlambat, tetapi juga tidak pernah terburu-buru.

Setiap janji-Nya pasti ditepati pada waktu-Nya yang sempurna. Inilah yang akan saya pegang teguh. Saya mengerti dengan sadar kalau setelah saya menyelesaikan tulisan ini, masalah dan kekhawatiran saya (bisa jadi) tidak akan langsung hilang. Tuhan punya timeline sendiri yang terbaik buat masing-masing kita.

Teruslah melangkah dalam iman, bahkan ketika jalan di depan tidak jelas. Teruslah berharap, bahkan ketika keadaan tampak mustahil. Karena Tuhan yang memelihara burung di udara dan bunga di padang pasti akan memelihara hidupmu dengan cara yang jauh lebih ajaib.

Mungkin kita tidak tahu apa yang ada di depan, tapi kita tahu SIAPA yang ada di depan sana sedang menunggu kita.


Note: Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui pembaca. Penulis bukan pendeta dan ilmu agamanya juga tidak seberapa. Tulisan ini hanya untuk dibaca. Jika kamu menjadi tergerak, percayalah itu karena Tuhan saja.


Category:

Up next:

Before:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *