Kenapa iPhone dicengin mulu tapi tetap laku?

Short answer: yang ngecengin tech enthusiasts tapi yang beli non-tech users.

Admit it. Setiap kali Apple mengumumkan rilis iPhone baru ke publik, social media akan ramai dibanjiri meme-meme yang menunjukkan “inferioritas” Apple dibanding brand lain seperti Samsung, dll. Tidak terkecuali saat Apple meluncurkan varian iPhone 15 di Apple Wunderlust Event pada 12 September kemarin.

Di event itu, Apple merilis 4 varian iPhone 15 sebagai berikut.

Ada beberapa upgrade utama dari iPhone 15 dibanding pendahulunya, terutama untuk varian Pro dan Pro Max.

iPhone 15 Pro dan iPhone 15 Pro Max kini menggunakan processor A17 Pro untuk dapur pacunya. Apple mengklaim kalau processor A17 Pro adalah processor pertama yang menggunakan fabrikasi 3nm (nanometer). Sebagai perbandingan, processor A16 Bionic (yang dipakai di iPhone 15 dan iPhone 15 Plus) masih menggunakan fabrikasi 4nm.

Feature comparisonA17 ProA16 Bionic
Semiconductor Fabrication3nm4nm
No. of transistor19 billion16 billion
CPU core configuration66
GPU core count65
Operation per second35 trillion17 trillion
Source: dataconomy

Fyi, fabrikasi disini artinya adalah proses manufaktur dari sebuah chip, dan 3nm disini merepresentasikan ukuran dari transistor yang akan digunakan di chip tersebut. Rule of thumb-nya, semakin kecil ukuran transistor, akan semakin banyak transistor yang bisa “ditempel” di papan chip, which leads to higher processing power but less energy consumption.

Oleh karena itu, Apple berani mengklaim kalau performanya bisa 10% lebih baik dari A16 Bionic.

A17 Pro juga cocok untuk gaming. Bahkan, judul-judul game seperti Resident Evil Village dan Resident Evil 4 remake, yang awalnya didesain untuk konsol dan PC, akan bisa dimainkan di iPhone 15 Pro and Pro Max. Ubisoft juga mengumumkan akan membuat Assassin’s Creed Mirage bisa dimainkan di iPhone 15 Pro dan Pro Max di tahun depan.

Apakah cuma processor yang mendapat upgrade? Tentu tidak. Sekarang mari kita bicarakan sektor kameranya.

Kamera adalah satu sektor yang membuat Apple superior dibanding pabrikan lain. Di iPhone 15, megapixel-nya di-upgrade menjadi 48MP (main camera) untuk semua varian. Nothing interesting here unless you go for iPhone 15 Pro atau Pro Max. Di varian ini, kamu bisa mendapatkan 5x optical zoom (3x untuk varian Pro) dari 12MP telephoto camera yang digunakan.

Intinya adalah kamera iPhone kualitasnya kini makin mendekati standar kamera DSLR professional.

Namun semua upgrade itu seakan kalah gaungnya akan inovasi Apple yang paling mencengangkan dalam satu dekade terakhir: USB-C.

Apple dan inovasi yang kering

Dari semua upgrade di iPhone 15, yang menjadi highlight kali ini adalah bagaimana Apple “menyerah” akan port lightning, port yang sudah dipakai di produk-produk buatan Apple sejak 2012. Mulai dari iPhone 15 dan seterusnya, Apple akan mengadopsi port USB-C, seperti pabrikan-pabrikan lain.

Sebuah langkah yang sangat tidak Apple-ish.

Kenapa ini menjadi highlight? Karena teknologi ini sudah ada sejak 10 tahun lalu!

Saat Apple baru mengadopsinya di kuartal ketiga 2023, pabrikan lain sudah menggunakannya bahkan untuk varian non-flagship.

Namun bagi kamu yang masih rindu dengan port lightning, Apple still got you covered. Kamu bisa membeli USB-C to lightning adapter seharga $29 dari website resminya.

Entah siapa target market dari adapter ini nantinya wkkw.

Dari beberapa sumber yang beredar, ada beberapa alasan kenapa Apple menanggalkan port lightning yang proprietary dan beralih ke USB-C yang standardized. But all comes down to one reason: Brussels effect.

Apa itu Brussels effect?

Brussels effect adalah term yang menunjukkan “kekuatan” Uni Eropa dalam mempengaruhi arah kebijakan global, terutama untuk bidang-bidang seperti consumer protection, data privacy, dll. Ini menyebabkan perusahaan-perusahaan yang menjual produknya di Eropa atau dipakai oleh masyarakat Eropa, harus mematuhi aturan-aturan tertentu.

Contoh dari Brussels effect ini adalah General Data Protection Regulation (GDPR) yang sering kamu lihat di website-website.

Kenapa perusahaan-perusahaan itu mau mengikuti aturan Uni Eropa?

Karena market size dan economic power-nya besar (hopefully ASEAN bisa se-influencing ini ya soon🙏).

Apple sekalipun tidak luput dari hal aturan ini. Uni Eropa adalah pihak paling vokal terkait masalah perkabelan ini. Sudah sejak lama Uni Eropa meminta Apple untuk menggunakan USB-C yang standardized. Tujuannya adalah supaya mengurangi e-waste dan membuat hidup masyarakat (Eropa) lebih mudah dan murah. Makanya, sejak 2022, Apple sudah menggodok implementasi penggunaan USB-C di berbagai perangkat buatannya. Namun untuk iPhone, barulah di iPhone 15 ini diperkenalkan.

It is kind of irony that the most hype innovation that iPhone has is USB-C. Isn’t it?

Yup. Apple tidak lagi menjadi inovator terdepan di bidang teknologi.

Dulu, Apple lah yang memulai era smartphone touch screen. Apple juga yang mulai memperkenalkan App Store, sebagai backbone dari ekosistem sebuah OS (operating system).

Setelahnya, Apple tidak lagi dikenal sebagai pencetus, namun “penyempurna” sebuah teknologi. Ini pada dasarnya adalah sebuah bentuk sarkasme yang intinya kalau inovasi Apple ya gitu-gitu aja.

Banyak Apple fans yang menyerukan hal serupa. Bahkan headline “Apple’s innovation died with Steve Jobs” seolah telah menjadi agenda rutin para pengkritik setiap kali Apple merilis produk baru ke publik.

@jayandsharon Finally something new #technology #comedy #parody ♬ original sound – Jay & Sharon

Ini cukup beralasan karena majority dari inovasi yang dilakukan Apple pada produk-produk barunya adalah faster processor, thinnner bezel, lighter weight dan better camera. Website Trusted Reviews bahkan dengan gamblang menyebut iPhone 15 “biggest lack of innovation“.

Business Insider menyebut kalau “Apple innovation hasn’t just slowed, it’s plateaued, at least for the time being“. Di artikel itu juga dijelaskan kalau Apple malah menjual “fear” atau ketakutan dibanding inovasi (fearmongering kalau istilah gen-z sekarang). Ini terlihat dari munculnya fitur seperti crash detection, emergency slider, dll. Ini sebenarnya adalah fitur yang bagus. Tapi akui saja, bukan fitur seperti ini, kan yang bikin kamu antusias beli iPhone? Toh, fitur kayak gini juga tidak akan membuat pemakainya keren dan tech savvy hehe.

Inovasi Apple sekarang “hanya” iterasi dari inovasi terdahulu, dengan tambahan kata faster, better, thinner atau lighter khas Apple.

Apple dibawah arahan Tim Cook memang lost its magical touch, tapi grasped much money to the bank instead.

Apple: 1 trillion-dollar company

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir inovasi Apple seolah mengering, tapi ini berbanding terbalik dengan rekening banknya.

Per April 2023, Apple tercatat punya dana segar sebesar $165 miliar. Di bawah arahan Tim Cook, Apple menjelma jadi mesin uang. Penjualannya selalu naik. Pun begitu pula dengan pendapatannya.

Source: Macrumors

Tak ayal, Apple menjadi perusahaan pertama di dunia yang menjadi anggota “trillion-dollar club” di pertengahan tahun 2018 karena market cap-nya sudah lebih dari $1 trillion pada saat itu (as of laporan terbaru, valuasi Apple bahkan tembus $3 triliun).

Karena prestasinya ini, Apple menjadi idola Wall Street. Hampir semua reksa dana dan ETF, memiliki Apple di portfolionya. Financial influencer di sini pun juga setuju dengan ini.

Pertanyaannya adalah kenapa orang-orang masih berbondong-bondong membeli produk Apple padahal harganya naik terus melebihi inflasi dan tidak ada invoasi yang game-changing selama bertahun-tahun?

Some argue kalau Apple menawarkan status, bukan cuma teknologi, dalam setiap pembelian produknya.

Setidaknya ada 3 alasan utama:

Premium

Ini memang agak counterintuitive tapi ya beginilah adanya.

Apple tidak menjual barang murah. Brand Apple itu sendiri sudah terikat dengan konotasi premium bahkan luxury buat banyak orang. Well, walaupun mahal atau murah memang relatif, tapi material dan design dari produknya sendiri pun seolah mengamini hal ini.

Sebagai perusahaan teknologi yang memiliki image luxury, Apple tentu tidak bisa berkompromi terkait material. Saat dulu pabrikan lain merilis smartphone dengan body dari plastik, Apple merilis iPhone yang body-nya terbuat dari aluminium. Di iPhone 15 malah dari titanium.

Design dan material yang premium ini membuat penggunanya memiliki status “lebih tinggi” dibanding yang lain. Di sini bahkan sempat viral video dimana seorang cowok yang cuma mau pacaran sama cewek pengguna iPhone boba. Sebegitu kuatnya brand image Apple sampai bisa menjadi daya tarik bagi lawan jenis.

Last longer

Alasan ini agaknya masih berhubungan sama alasan di atas. Apple seolah mendesign produk-produknya supaya awet dan tahan lama.

Well, mungkin term yang lebih tepat adalah timeless.

Produk Apple, entah itu Macbook, iPad atau iPhone, setidaknya bisa digunakan 5 tahun tanpa lag berarti atau mengalami penurunan performa yang signifikan. Macbook Pro rilisan tahun 2012 aja masih oke digunakan di tahun 2023, kok. Bandingkan dengan Windows. Laptop rilisan tahun kemarin pun belum tentu sanggup menjalankan OS (operating system) terbaru tanpa desis kipas yang nyaring.

iPhone pun begitu. iPhone X atau iPhone 11 keluaran tahun 2018/2019 bahkan masih relevan dipakai di tahun ini. Padahal kalau dipikir-pikir usianya sudah 4-5 tahunan.

Design iPhone yang dikritik “monoton” itu mungkin memainkan peran disini.

Seperti yang kita tahu, design iPhone itu gitu-gitu aja. Sampai saat ini, Apple masih ogah mengadopsi design flip yang sekarang mulai marak di smartphone flagship brand lain. Apple masih setia dengan design full touch screen. Dengan design ini, kalau dilihat sekilas dan tanpa dipegang, kamu tidak akan bisa membedakan iPhone 12 dan iPhone 14 misalnya. Ini yang membuat iPhone memiliki kesan timeless.

So, sebenarnya kita tidak perlu-perlu amat untuk ganti iPhone setiap tahun.

Ecosystem

Dari sekian banyak perusahaan teknologi di dunia, Apple adalah yang pertama menyadari pentingnya sebuah ekosistem dalam pengembangan produk.

Well, ini sebenarnya tidak 100% benar juga karena pengguna Linux, dengan distronya yang banyak itu, sudah menyadarinya lebih dulu. Walaupun begitu, Apple adalah salah satu yang pertama me-monetize dan menjadikannya sesuatu yang fancy.

Ini dimulai saat adanya email dari Steve Jobs ke para karyawannya di tahun 2010.

Tie all of our products together, so we further lock customers into our ecosystem.

Ini adalah visi Steve Jobs sebagai respon atas adanya persaingan dengan Google pasca menelurkan Android. Dengan Android, Google dimungkinkan untuk mencaplok pangsa pasar Apple karena pabrikan manapun bisa menggunakan Android dalam perangkatnya. So, daripada bertanding head-to-head, Steve Jobs mengambil pendekatan lain.

Saat Google menggunakan pendekatan horizontal, Apple menggunakan pendekatan vertikal, alias memperbanyak product line yang masing-masing bisa saling terkoneksi. Mumpung Apple juga punya complete control atas hardware dan sistemnya, kan.

Konektivitas ini bisa dimungkinkan berkat dua fitur utama: Apple ID dan iCloud

Apple ID adalah kredensial untuk mengakses perangkat dan service dari Apple. Apple ID berisi personal data dan setting. Setiap login dengan Apple ID tertentu, perangkat tersebut langsung terpersonalisasi secara otomatis. Bahkan sampai ke pesan, notes, foto, dll. Ini bisa terjadi karena data dan setting tersebut tersimpan di iCloud.

Oleh Apple, interkonektivitas ini disebut dengan Handoff dan Continuity.

Hal-hal tadi lah ini membuat pengguna “terjebak” dalam ekosistem Apple dan tidak mau kembali. Sebaliknya, orang-orang justur malah “tertantang” untuk meng-upgrade perangkatnya setiap Apple merilis produk baru, bahkan saat produknya dicengin karena minim inovasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *