Ini mungkin akan dibilang fear mongering, tapi 2025 memang lebih susah dari tahun sebelumnya. Well, dunia memang cenderung makin tidak menentu kemana arahnya tahun demi tahun, sih.
Mass layoff, perang (either via tarif atau via missil), etc. Anything in the news is bad. Dunia seperti semakin “memakksa” kita untuk meng-embrace kebahagian-kebahagian kecil karena kebahagian besar semakin sulit dicapai.
Selain Jumbo, kebahagian kecil itu, buat saya, berasal dari serial drama Jepang berjudul After School Doctor.
Premis singkat
MC kita adalah Dr. Kazuya Shindo, seorang dokter spesialis anak (soalnya disebut pediatris) yang terpaksa menjadi dokter di UKS. Di sana, dia ditugaskan buat menangani kesehatan siswa sambil menghadapi berbagai krisis khas anak-anak sekolah. Mulai dari penyakit yang nggak kelihatan, masalah emosional, sampai isolasi sosial, ruang UKS yang dia kelola berubah jadi tempat favorite murid-murid di sana.
Episode breakdown
Okay. I am gonna be all out here. Below saya sudah rangkumkan sedikit banyak cerita di tiap episodenya.
After School Doctor mengikuti perjalanan Dr. Makino, seorang dokter anak/pediatrics yang jenius tapi kaku dan socially awkward. Karena sifat dan sikapnya ini, dia “dibuang” ke UKS sekolah dasar. Pendekatannya yang dingin dan super klinis awalnya bentrok banget sama kebutuhan emosional murid-muridnya. Bayangin aja, di hari pertamanya, Dr. Makino bilang supaya anak-anak jauh-jauh dari ruang UKS. Maksudnya sih bagus, tapi penyampaiannya bikin anak-anak takut. Ini diperparah sama rumor yang disebar sama Kei.
Benar saja, Dr. Makino sering bikin anak-anak menjauh. Di episode 1, ada satu anak kelas 6 namanya Sasamoto. Dia digigit serangga (Schrub typhus) pas main di hutan. Selain itu ada Nozaki. Dia ini, di mata orang lain, terlihat ngantukan. Tapi sebenarnya dia mengidap Narcolepsy. Mereka berdua awalnya ga mau dan takut ke UKS, untungnya gaya komunikasi Dr. Makino yang blunt, justru membuat mereka bisa sembuh.

Di episode 2, Kei menyebar rumor jahat kalau Dr. Makino justru malah menyebabkan anak-anak sakit. Ini bikin temannya, Riko tidak mau ke UKS padahal sedang sakit. Later did we know, kalau dia ternyata mengidap IgA vasculitis. Ada juga Yugo, anak kelas tiga (kalau saya tidak salah ingat) yang hampir mati karena pneumothorax akibat jatuh dari pohon. But the best part in this episode is when Kei bertemu seorang kakek yang pingsan di kuil. Di sana dia, berusaha banget memberi pertolongan pertama buat kakek itu. Sambil menangis meminta pertolongan orang dewasa, Kei terus menekan dada kakek itu, sampai akhirnya Dr. Makino datang!
Scene itu, specifically, bikin saya tidak ragu lagi buat lanjut ke episode selanjutnya.
Episode 3 dimulai pas Naoaki, adiknya Kei, bertemu sama Dr. Makino dan dimarahi. But, that is what makes Naoaki happy. Deep down dia ga mau dianggap anak lemah yang selalu butuh dilindungi. Mengetahui hal ini, Kei mengaku kalau dia adalah orang yang menyebarkan rumor soal dirinya. Alasannya? Supaya Dr. Makino dikeluarkan dari sekolah dan kembali ke rumah sakit dan merawat Naoaki lagi. Di episode ini juga dijelaskan gimana beratnya beban mental yang ditanggung Kei. Dia ini praktis ga dapet perhatian yang cukup karena orang tuanya fokus ke adiknya.

Episode 4 tergolong agak mentally dragging buat saya. Ini karena saya dibawa menyelami hidup Mizumoto, yang punya tendency merusak dan melukai orang lain dan dirinya. Again ini, karena orang tua yang egoistis sehingga menyebabkan luka emosional.
Episode 5, kita diberi tahu alasan kenapa Makino bisa sampai “terbuang” ke sekolah, ini karena Dr. Makino terlalu straightforward dan tidak punya empati sampai-sampai orang tua pasien meragukan diagnosanya.
Masuk episode 6, fokusnya pindah dari murid ke guru. Bu Shinoya, guru yang super rajin, mulai keliatan burnout. Ini bikin murid-murid di kelasnya khawatir. Dr. Makino, dengan caranya yang jujur dan tajam, bikin guru-guru lain sadar kalau mereka selama ini take Bu Shinoya for granted. Setelah dapat dukungan dari kolega dan murid, Bu Shinoya akhirnya mulai jaga diri sendiri. Dia mulai “belajar” tidur cukup dan makan-makanan yang lebih bergizi. Surprisingly, dua hal sederhana itu justru hubungannya dengan murid-murid makin baik. Look at you para budak-budak korporat.
Di episode 7 ceritanya adalah tentang Riko yang omongannya pedas dan seringkali thoughtless. That does not necessarily mean dia jahat, sih. Dia cuma ga bisa “read the room” aja. Tahu kalau dia sudah menyakiti salah satu teman sekelasnya, Riko bersembunyi di UKS dan ikut serta ke “petulangan” Satoshi mencari ayahnya yang pergi gitu aja dari rumah. Turns out, her blunt personality ternyata membantu Satoshi.
Episode 8 adalah my favorite episode. Fokusnya ada pada anak kelas satu bernama Mai. Dia adalah anak kecil yang cerewet di rumah tapi diam total di sekolah. Di Indonesia, Mai cuma akan dibilang pemalu, tapi Makino curiga dia mengalami selective mutism, sejenis anxiety yang bikin seorang anak takut bersuara di situasi tertentu. Di kasus Mai, situasi itu adalah di sekolah. Imagine seorang Dr. Makino yang kaku dan selalu berwajah seram harus membantu Mai yang juga takut bersosialisasi.

Ada tiga scene yang bagus banget di sini. Pertama saat Mai kaget dan bersembunyi di belakang Dr. Makino saat ada belalang loncat ke arahnya. Kedua saat Mai menemukan Dr. Makino “sembunyi” di bawah meja. Dan yang ketiga saat Mai mulai berani mengangkat tangan dan membuka mulutnya saat festival musik sekolah. The best episode. Sebegitu kuatnya keinginan Mai kecil untuk berani berbicara, sedikit demi sedikit. Ganbatte ne, Mai-san.
Episode 9, Kei makin dewasa dalam menghadapi operasi jantung adiknya, Naoaki. Sementara Naoaki bersahabat dengan pasien kecil lain di rumah sakit, cerita mereka jadi kisah tentang kesabaran dan harapan yang tenang. Kei mulai belajar mendukung keluarganya sambil tetap menikmati masa kecilnya.
Di episode 10 alias episode terakhir, Dr. Makino siap balik ke dunia rumah sakit dan meminta Dr. Iwami, dokter sekolah yang sifatnya bertolak belakang dengan Dr. Makino, buat melanjutkan treatment beberapa murid-murid seperti Mai dan Naoaki. Sebelum pergi, dia menjenguk Makoto, dan mengajaknya ke festival sekolah. Acara ini jadi momen penting buat Makoto dan ayahnya untuk saling menerima kenyataan kalau si ibu sudah tiada.
Impression
After School Doctor bukan sekadar drama medis, ini adalah cerita tentang bagaimana anak-anak, dan juga orang dewasa, adalah makhluk yang rapuh. Setiap episodenya memang episodik: tiap episode ada murid baru, masalah baru, repeat.
Tapi eksplorasi ceritanya lembut dan emosional. Tiap episode tidak buru-buru tersedia solusinya. Semua butuh waktu, karena memang proses healing itu sendiri tidak instan.
Perubahan Dr. Makino dari yang pribadi yang dingin menjadi lebih approachable terjadi pelan tapi pasti, ibarat batu yang terkena tetesan embun pagi. Dan makin lama, kita tahu sebenarnya dia peduli banget, dia semata-mata tidak tahu cara mengungkapkannya dengan benar.
Pujian tanpa henti
After School Doctor definitely adalah salah satu tontonan yang paling berkesan buat saya selain tentu saja Violet Evergarden.
Dari episode pertama udah langsung terasa tulus banget, dan terus-terusan bikin aku kagum sama cara penulisannya yang peka — baik soal dunia anak-anak maupun orang dewasa. Tiap episode kayak pelajaran hidup kecil yang dibungkus humor, kehangatan, dan emosi dalam.
Drama ini juga jago banget menyeimbangkan tema berat, seperti trauma, kesehatan mental, dan tekanan sosial, dengan momen-momen ringan yang bikin senyum dan tentu saja tidak dengan tendensi menyalahkan. Tidak ada kesan maksa. Semua disajikan apa adanya.
Anak-anak di drama ini juga bukan cuma figuran. Mereka punya cerita sendiri, konflik sendiri, dan aktingnya surprisingly bagus. Banyak dari mereka bahkan terasa lebih bijak daripada orang dewasa di sekitarnya ( I talk about you Shinoya sensei). Jarang banget ada drama yang bisa nangkep dunia anak-anak tanpa menganggap mereka tidak tahu apa-apa.
Selain itu, saya juga salut gimana dramanya berhasil menyelipkan edukasi soal dunia medis, kesehatan mental, bahkan parenting, dengan cara yang ringan tapi menyentuh. Meskipun tidak begitu relate dengan saya yang non-dokter dan non-guru ini, banyak momen yang menyentuh, terutama di episode 2 dan tentu saja episode 8.
Singkatnya, After School Doctor adalah drama yang hangat dan ditulis dengan hati. Nonton ini tuh berasa dipeluk, dapet kenyamanan, perspektif baru, dan rasa percaya kalau manusia tidak akan tergantikan sama AI.
Oh satu lagi. Ending song-nya sungguh sangat nyaman di telinga.
Leave a Reply