Menghujat Pengepungan di Bukit Duri

⚠️ Trigger Warning: Film ini lumayan banyak menampilkan adegan kekerasan rasial, pemerkosaan, kekerasan, dan pembunuhan. Beberapa adegan cukup eksplisit dan bisa sangat memicu trauma, bahkan untuk penonton yang bukan dari latar belakang Tionghoa atau yang secara langsung tidak mengalami kekerasan serupa. Harap ditonton dengan bijak.

Sinopsis (major spoiler alert!)

Saat pertama kali ditawari buat nonton screening, saya cukup excited. Tapi setelah ditonton, ada rasa tidak nyaman yang timbul. Dan ini muncul bahkan sejak 10 menit partamanya.

Pengepungan di Bukit Duri adalah sebuah thriller gelap yang sarat emosi, berlatar tidak jauh di masa depan tapi dibayangi luka sejarah masa lalu. Tokoh utama kita, Edwin, adalah guru seni pengganti yang punya misi tersembunyi: mencari keponakan kandungnya yang hilang—satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kakaknya, meninggal dunia.

Edwin dan sang kakak adalah korban dari kekerasan brutal yang terjadi saat kerusuhan anti-Tionghoa di masa lalu. Kakaknya diperkosa, Edwin dipukuli hingga hampir tewas. Bertahun-tahun kemudian, ia menelusuri sekolah-sekolah di Jakarta Timur untuk mencari anak sang kakak. Di sinilah Edwin tiba di SMA Bukit Duri—sekolah “buangan” yang dipenuhi siswa bermasalah. Di antara para siswa itu ada Jefri, si pemarah dan “jagoan” sekolah, dan Christo, siswa yang pernah Edwin tolong saat diserang sekelompok siswa Tionghoa di Pecinan.

Edwin mulai menduga bahwa Christo adalah keponakan yang ia cari. Tapi saat ketegangan antara dia dan Jefri memuncak, kekacauan kembali terjadi: kerusuhan massal kembali pecah di Jakarta. Di tengah libur sekolah, Jefri dan gengnya memanfaatkan kekacauan itu untuk membalas dendam. Edwin, Christo, Ibu Diana, dan Rangga (teman Christo) terjebak di ruang olahraga sekolah, dikepung tanpa sinyal, tanpa bantuan.

Dalam kondisi putus asa, mereka mencoba berbagai cara untuk bertahan hidup. Harapan sempat datang saat Ayah Rangga datang ke sekolah. Tapi hal ini justru tidak berakhir baik, beliau malah dibakar hidup-hidup sama Jefri dan gengnya. Pun begitu juga dengan Rangga yang harus meninggal saat ditusuk perutnya.

Edwin harus bertindak. Dia mencoba kabur lewat ventilasi dan membunuh para siswa satu per satu demi bertahan hidup, hingga “bos” terakhir muncul, Jefri.

Dan di momen terakhir, sebuah plot twist terungkap dengan subtle, Jefri adalah keponakan yang selama ini dia cari.

Premis bagus, tapi ….

Harus diakui kalau Pengepungan di Bukit Duri berangkat dengan isu besar nan sensitive—rasisme, trauma, kekerasan struktural—sayangnya penulisan naratif dan emosionalnya tidak bisa mengimbangi premisnya. Berikut beberapa catatan pribadi saya:

Ekspektasi “Man vs. Society” malah jadi “Guru vs Murid”

Dari judul saja, film ini menjanjikan konflik besar antara Edwin dan masyarakat yang pernah menghancurkan keluarganya. Itu ekspektasi saya. Tapi alih-alih menggali ketidakadilan struktural atau luka kolektif, narasi ceritanya justru menyempit menjadi konflik pribadi antara Edwin dan Jefri. Isu besar seperti rasisme atau trauma lintas generasi akhirnya hanya menjadi latar belakang yang lewat sekelebat saja, bukan pusat cerita. Major loss.

Asumsi Edwin ke Christo terlalu dangkal

Salah satu penggerak utama cerita adalah keyakinan Edwin bahwa Christo adalah keponakannya. Alasannya sungguh meh sekali: mereka sama-sama bisa menggambar. Itu doang. Untuk seseorang yang digambarkan punya trauma dan penyesalan, keputusan Edwin terasa tidak masuk akal. Alur emosional yang seharusnya bisa digali lebih dalam malah terasa dipaksakan dan tipis.

Amarah Jefri yang tidak terjelaskan dengan utuh

Jefri digambarkan penuh kemarahan sejak awal film. Agak mirip Bruce Wayne yang selalu marah dari kecil. Bedanya, kita tahu kenapa Bruce marah kepada dunia tapi Jefri? Kita tidak benar-benar tahu dan invested sama alasannya. Satu-satunya petunjuk adalah ucapannya sendiri: “Bapak gue banyak, tubuh gue kaya kolam pejuh.”

Kalimat ini supposed to menunjukkan kebingungan identitas dan luka batin, tapi tidak cukup untuk membuat penonton memahami amarahnya karena diletakkan di akhir durasi banget. Another major loss.

Strategi Edwin yang mengecewakan

Secara alur, film ini tampil sebenarnya tidak buruk. Tapi intensitas tidak dijaga dengan baik. Pengepungan di Bukit Duri dibuka dengan kuat. Pun begitu juga dengan perkenalan Edwin dan Jefri. Namun saat karakter-karakter terjebak di ruang olahraga, alurnya goyang, penulisannya terasa bingung mau digimanain. Intensitas berusaha banget dijaga tapi sayangnya tidak berhasil.

Alasannya? Karena strategi kabur Edwin yang aneh banget. Strategi kabur Edwin lewat saluran angin oke lah. Udah banyak dipakai dan works. But strategi absensi? Ini jelas banget dipaksakan. I mean why Jefri yang dari awal sebarbar itu nurut sama Edwin?

Ini momen yang harusnya klimaks dan intense tapi jadi meh. Another major loss.

Penutup

Pengepungan di Bukit Duri adalah film yang punya ide besar dan niat baik untuk mengangkat luka sejarah dan realitas sosial yang agaknya masih relevan sampai hari ini. Tapi sayangnya, eksekusinya belum sampai ke sana. Tema-tema besar itu ada, tapi tidak digali cukup dalam.

Padahal, film ini bisa jadi pintu masuk untuk diskusi penting soal identitas, ketidakadilan, dan luka generasi yang beneran ada tapi mulai tereduksi maknanya. Tapi sebagai sebuah tontonan dan pengalaman sinematik, Pengepungan di Bukit Duri tetap menghibur dengan scene-scenenya yang brutal dan berdarah-darah.

Category:

Up next:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *