Menyoraki Joker: Folie à Deux

Joker: Folie à Deux adalah film gagal. Film ini flop dari segala sisi, baik dari sisi finansial maupun dari sisi kritik. Sekuel ini hanya mendapat 206.4 juta Dollar, kalah jauh dibanding pendahulunya yang mendapat 1.079 miliar Dollar. Skor Rotten Tomatoes pun juga bagaikan bumi dan langit. Joker: Folie à Deux cuma mendapat 5.2/10 dan dihujat banyak orang sementara film pertamanya justru memanen banyak puja-puji.

Saya pun terpengaruh dengan review-review orang lain sehingga mengurungkan niat untuk nonton di layar lebar. But, karena penasaran, saya menyewa Joker: Folie à Deux via Apple TV. Surprisingly, Joker: Folie à Deux tidak seburuk yang orang-orang bilang.

Menonton Joker: Folie à Deux bikin saya memikirkam banyak hal. Ada satu pesan utama yang benar-benar saya dapatkan: gak ada yang benar-benar peduli dengan Arthur sebagai Arthur. Ini sosok yang nyaris menyerah pada dunia, tapi begitu dia pakai topeng Joker, boom—semua orang terobsesi, termasuk pemeran wanita utamanya, Lee Quinzel. Penonton, warga Gotham dan Lee benar-benar menyukai Joker, sementara Arthur diabaikan dan eksistensinya dianggap tidak ada.

Joker: Folie à Deux adalah soal krisis identitas, budaya antihero, dan bagaimana era ini malah lebih menyukai karakter villain. Dan jujur, semua ini bikin saya berpikir kalau Joker: Folie à Deux tidak seburuk itu.

Dualitas dan krisis identitas Joker

Joker: Folie à Deux bersetting tidak lama dari pendahulunya (kalau tidak salah berjarak 2 tahun). Namun, alih-alih cuma berfokus pada kelanjutan kisah Arthur (dan Joker) yang akan disidang, film ini juga menggali lebih dalam sisi humanis seorang Arthur dan kepribadiannya yang lain.

Joker dan Arthur ini seperti dua orang dalam satu badan. Split personality. Yang satu adalah kepribadian yang baik cenderung submissive, sementara yang satunya lebih dark dan suka bikin kekacauan.

Joker: Folie à Deux ini seolah mengajukan pertanyaan filosofis yang cukup dalam: apakah setiap orang bisa punya beberapa versi dirinya yang saling berebut kendali? Di kasus Arthur, Joker sebagai sisi gelapnya, bikin saya bisa mengintip ke konflik identitas ini. Tebakan liar saya, jangan-jangan kita semua punya “Joker kecil” di dalam diri kita.

Selain itu, tidak seperti film superhero dimana kita bisa dengan mudahnya men-judge mana karakter jahat dan mana karakter baik, Joker: Folie à Deux ini membuat saya mempertanyakan realitas.

Apakah Arthur bersalah karena membiarkan Joker mengambil alih dirinya? Atau apakah kita, as a whole society, bersalah karena tanpa sadar menciptakan Joker dalam diri Arthur?

Arthur atau Joker?

Salah satu hal yang saya suka dari Joker: Folie à Deux adalah film ini yang membuat saya bertanya pada diri sendiri.

Apakah saya di sini untuk mendukung Arthur, orang yang kesepian, terabaikan dan hanya ingin istirahat sejenak? Atau saya betah duduk 2 jam lebih untuk Joker, sebuah simbol kebebasan, pemberontakan sekaligus juga kekacauan? Dan kalau saya mendukung Joker, apa itu artinya saya adalah penjahat?

Personally speaking, saya lebih relate sama Arthur karena he is an every man yang diperlakukan dengan keji oleh dunia. Arthur adalah perwujudan orang-orang tertindas, the voiceless, yang cuma ingin dilihat sebagai sesama manusia.

Sebaliknya Joker, menurut saya, adalah simbol pernyataan muak dan pemberontakan akan sistem yang korup, penindas serta masyarakat yang ignorance. I don’t wanna be him.

Terpikat dengan villain

Saya tidak tahu kapan tepatnya, tapi sepertinya audience sekarang lebih menyukai sosok antihero ketimbang hero dalam konotasi tradisional. Tidak percaya? Coba tanya temanmu, mereka lebih suka Captain America atau Homelander?

Hideo Kojima, kreator game Metal Gear itu, dalam tweet “review”-nya pernah bilang kalau sekarang adalah era film “poetic justice” di mana penonton senang dengan tokoh jahat. Superhero itu bagus, tapi villain? Mereka yang bikin kita betah nonton. Harus diakui kalau bagus tidaknya film superhero ditentukan oleh villainnya (lihat saja Age of Ultron). Dan Folie à Deux benar-benar menggali ide ini dengan menghadirkan Joker sebagai pemeran utama—seorang villain yang mungkin, cuma mungkin, bisa jadi pahlawan (mungkin lebih ke simbol perlawanan kali ya).

Konsep “villain adalah orang biasa yang tersakiti” ini sebenarnya adalah premis umum setiap film superhero. Tapi, Joker: Folie à Deux “sedikit” mengubah sudut pandangnya. Joker dan Joker: Folie à Deux, membalikkan narasi superhero klasik. Yes, dia tetap ikon kejahatan, tapi kita paham kalau Arthur hanya seorang yang terluka yang berusaha bertahan hidup di tengah kegilaan dunia. To some extent, some might resonate with him and idolize him, just like Gotham citizen.

Siapa sih yang gak suka antihero di zaman yang makin rumit ini?

Arthur yang Kesepian dan Obsesi dengan Joker

Bagian ini benar-benar bikin saya bersimpati sama Arthur. Arthur ini adalah sosok yang tidak terlihat. Tidak ada yang peduli sama dia; mereka hanya peduli saat dia jadi Joker.

Bahkan karakter wanita utamanya kagum sama Joker seolah-olah dia adalah laki-laki tertampan. Once Arthur meluruhkan persona Joker untuk selamanya, satu-satunya orang yang peduli sama dia pun mengabaikannya begitu aja.

Bayangkan jadi Arthur: kamu duduk di sana, mengungkapkan isi hati, dan semua orang malah bilang, “Gak, kita di sini buat si clown prince of crime.” Tidak heran dia bingung soal siapa dirinya.

Ini bikin saya merasa resonate lebih lagi dengan Arthur. Dia kesepian, dan dunia sekitarnya hanya mengakui keberadaannya saat dia memakai topeng Joker. Kontras yang tajam antara keterabaian Arthur dan glorifikasi Joker ini menunjukkan tragedi yang begitu nyata—seseorang dipaksa memakai topeng karena dirinya yang asli tak diinginkan dan tak terlihat.

Ini memvalidasi kecintaan penonton (me included) pada Joker semata, tidak termasuk Arthur. Setelah dipikir-pikir lagi, saya (dan mungkin kalian juga) sering tidak menghiraukan dan bahkan mengabaikan orang-orang yang butuh pertolongan. Kita lebih mudah tertarik dan mengidolakan sosok yang berani, meskipun berbahaya.

Dalam kasus Arthur, pengabaian ini berakibat fatal, mendorongnya menuju identitas yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Menurut saya, perubahan Arthur mencerminkan tragedi sosial yang gagal dilihat oleh mayoritas orang-orang.

Apakah Folie à Deux Akan Abadi?

Walaupun sekarang flop, saya cukup yakin kalau Joker: Folie à Deux mungkin akan dianggap menjadi lebih baik seiring waktu. Age like a fine wine. I could be wrong, but there is a possibility.

When almost everyone I know mock this film, Hideo Kojima justru punya keyakinan bahwa film ini mungkin akan makin bagus seiring waktu. Menurutnya, penonton masa kini mungkin sedikit ragu-ragu mengakuinya, tapi Kojima yakin seiring antihero makin populer dan dicintai, Joker: Folie à Deux bakal menjadi klasik, mendahului zaman. Wow.

Saya pun agaknya mengamini hal serupa. Saya cukup yakin kalau di masa depan, saat orang sudah lebih terbiasa dengan karakter-karakter yang kompleks secara moral, Joker: Folie à Deux bisa muncul sebagai karya yang berani dalam cara menggambarkan sosok villain atau bahkan manusia secara umum.

Salut untuk Joaquin dan Gaga

Joker: Folie à Deux adalah tentang Joaquin Phoenix dan Lady Gaga. Hideo Kojima mengacungkan jempol untuk mereka, dan jujur aja, hampir seluruh penonton pun akan memiliki opini serupa.

Joaquin Phoenix bisa membuat Arthur Fleck begitu terasa nyata dan tragis, atau membuat Joker menakutkan dan agak memesona. Joaquin Phoenix bisa memerankan sosok Arthur terasa begitu raw, nyata dan apa adanya, sampai kita bisa merasakan rasa sakitnya. Dan penampilan Gaga memperkuat semua persona Joker yang sudah kita ketahui di film sebelumnya, menambah lapisan pada eksplorasi kekaguman dan pengabaian yang begitu manusiawi.

Kamu mungkin bisa men-judge Joker: Folie à Deux sebagai film gagal. Ini wajar, karena seperti yang sudah saya singgung di atas, film ini mungkin melampaui zaman. Tapi, saya cukup yakin kalau kita semua setuju kalau kita menyukai Arthur dan Joker karena Joaquin Phoenix, terlepas bagaimana kompas moral kita pada karakternya.

Penampilan Phoenix dan Gaga membawa kita langsung masuk ke dunia yang terpecah ini. Rasanya mereka seperti berbagi kegilaan Arthur, menarik kita ke dalam “folie à deux” yang berantakan dan tragis yang benar-benar membekas.

Joker sebagai ideologi

Gotham adalah kota yang tidak bisa dibilang aman dan nyaman bagi penduduknya. Korupsi dan kriminalitas sudah menjadi bagian dari kehidupan di sana. Penduduk kota sudah terbiasa dengan kondisi kota yang bar-bar namun dibalut dengan keteraturan semu. Ini berubah saat mereka melihat Joker.

Di Gotham, orang-orang mendukung Joker bukan karena mereka tiba-tiba suka riasan wajah dan kekacauan, tapi karena dia semacam maskot tidak resmi untuk melawan sistem yang rusak. Joker seolah membuka tabir yang mengungkap borok kota ini sesungguhnya:

Sistem yang itu-itu saja dan tetap rusak: Orang-orang biasa di Gotham hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan, dan masyarakat yang dikendalikan oleh elit kaya yang lebih memilih menutup mata. Tindakan Joker terasa nyambung karena dia ‘berani’ menyerang sistem dan orang-orang yang untouchables tapi bikin mereka sengsara. Buat mereka, Joker seperti anak berandal yang mengadu ke guru saat seisi kelas dicurangi kelas lain.

Idola orang-orang yang terabaikan: Perjalanan Arthur Fleck menjadi Joker mungkin mirip kayak cerita Gotham itu sendiri. Hidupnya mewakili semua orang yang selama ini dianggap sebelah mata, diremehkan, atau bahkan diabaikan oleh masyarakat. Ketika akhirnya dia sepenuhnya menjadi Joker, dia membawa semua kekecewaan itu dia suarakan dengan lantang di depan orang-orang yang dulu mengabaikannya. Bagi orang-orang yang selama ini di pinggiran, Joker seperti korban bully yang step-up melawan pem-bully.

Mengubah luka jadi kekuatan: Arthur gak memilih hidup sebagai Joker; hidup Joker yang memilih dia. Perjalanannya mirip seperti panduan “self-help” tentang bagaimana mengubah luka batin dan kekecewaan menjadi kekuatan (atau kekacauan). Dan bagi orang-orang Gotham yang tertindas dan terbungkam, melihat perubahan Arthur seakan seperti melihat cahaya perubahan.

Kekacauan > ketertiban: Di kota di mana ketertiban malah bikin semua orang menderita, gaya hidup Joker yang penuh kekacauan kelihatan seperti kebebasan. Orang-orang mungkin tidak suka bagian “kekerasan” dari dirinya, tapi sikapnya yang “bebas, tanpa batas” adalah bentuk penolakan terhadap ‘ketertiban’ yang dipaksakan oleh sejumlah elit yang tak tersentuh dan korup. Buat penduduk Gotham, Joker seperti sedang living their dream, impian sederhana yang mereka inginkan tapi tak pernah berani merek lakukan.

Suara untuk yang tidak didengar: Saat Arthur benar-benar menjadi Joker, dia keluar sana dan memberi suara untuk semua orang yang diam-diam menderita. Dia tidak bisa ditebak, konfrontatif, dan gak peduli siapa yang berkuasa. Dia tidak bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Dia cuma ingin kebebasan dan kesetaraan through chaos. Bro just wants to watch the world burn dan buat warga Gotham biasa, ini adalah gagasan yang menarik.

Jadi, warga Gotham gak dukung Joker karena mereka suka sama kekacauan—mereka ada di belakang dia karena dia adalah simbol perlawanan terhadap elit yang sebelumnya tidak bisa mereka sentuh. Sosok Joker akhirnya jadi semacam cahaya harapan yang aneh dan twisted untuk perubahan, meskipun perubahan itu datang dengan sedikit kekacauan bersamanya.

Penutup

Joker: Folie à Deux membuat saya melihat perjalanan Arthur bukan hanya sebagai transformasi menjadi Joker, tetapi juga sebagai manusia yang menentang cara-cara konvensional dalam memandang identitas, kesepian, dan apa yang kita sebut sebagai “pahlawan.”

Film ini sarat dengan ide besar: kegemaran masyarakat pada antihero, pengabaian kita terhadap orang-orang seperti Arthur, dan kebiasaan kita menyoraki topeng dan bukan orang dibaliknya. Dengan alasan-alasan itu, tidak salah rasanya Kojima bertaruh kalau film ini bakal dikenang, years from now.

MelaluiJoker: Folie à Deux, saya melihat refleksi gelap dari diri saya, dari diri kita. Jadi mungkin lain kali, saya akan sedikit lebih mindful dalam memperhatikan sekitar, orang-orang yang sedang memakain “topeng” dan “riasan”. Be better.

Category:

Up next:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *