person putting coin in a piggy bank

Psychology of money dan cara boring berinvestasi

Seperti mayoritas orang kebanyakan, saya juga membuat target resolusi yang ingin dicapai di tahun baru 2024 ini. Salah satunya adalah target untuk membaca minimal 12 buku dalam setahun. Target yang ambisius, bukan?

Tapi kayaknya tidak. Tahun 2024 sudah memasuki bulan kedua, dan saya sudah menyelesaikan satu buku. Semoga bisa konsisten ya.

Judul buku yang saya baca adalah Psychology of Money karangan Morgan Housel.

Ini adalah buku yang cukup banyak direkomendasikan influencer-influencer keuangan sejak jaman pandemi. Saya pun termakan konten meraka dan memutuskan membeli bukunya di sekitar tahun 2022.

Bukunya terdiri dari 20 chapter dan 241 halaman termasuk kata pengantar. Butuh waktu cukup lama buat menyelesaikan buku ini karena banyaknya distraksi (atau mungkin karena malas saja). Tapi akhirnya beresnya juga dibaca.

Overall, buku ini terasa seperti buku filosofi teras tapi tapi buat personal finance dan investasi. Buku ini tidak mengajarkan cara dan trik investasi super ampuh, tapi lebih mengajak untuk bersyukur.

Iya bersyukur. Tapi bukan pasrah sama keadaan.

The hard truth

Pandemi 2020-2021 membuat semakin banyak orang tahu pentingnya investasi.

Banyak influencer-influencer keuangan bermunculan di era ini. Rate card mereka gila. Ada yang sampai belasan juta untuk menjadi narasumber di event berdurasi 2 jam.

Sedangkan saya tidak dibayar simply karena saya bekerja sebagai investment specialist di MI (manajer investasi) haha 🥲🥲

Well, saya memang iri sih (who doesn’t?) tapi saya juga belajar banyak either dari konten atau pun cerita hidup mereka.

Salah satunya adalah soal earning power.

Apa yang saya lakukan dan influencer-influencer itu lakukan generally mirip-mirip. Tapi penghasilan mereka jauh lebih besar dari saya. In other words, earning power mereka lebih besar dari saya.

Dan ini lah hard truth yang harus saya maklumi: saya masuk ke golongan orang yang penghasilannya biasa-biasa aja. Tidak banyak dan mepet haha.

Kalau berbicara statistik, orang yang situasinya seperti saya adalah golongan mayoritas. In very very large sample, niscaya bell curve itu berlaku. Ini artinya tidak semua orang mampu memiliki uang yang super banyak, dan saya adalah salah satunya.

Kenapa? Kurang bekerja keras?

No.

Mestinya kan juga kerja cerdas, dong?

Tidak juga.

Pembedanya adalah simply keberuntungan atau luck. Dan luck ini tidak bisa kontrol kapan dan bagaimana kita mendapatkannya

Saya tahu kalau ini tidak bisa diterima. Orang sukses kayak influencer atau motivator selalu bilang untuk bekerja lebih cerdas dan berjejaring lebih luas. Padahal, di dunia yang makin kompetitif seperti ini, perbedaan luck ini bisa berpengaruh besar, termasuk kalau kita berbicara soal keuangan dan investasi.

Di buku Psychology of Money, ada kisah soal pendiri Microsoft. Bukan, saya bukan membicarakan Bill Gates atau Paul Allen. Saya sedang membicarakan tentang Kent Evans.

Kamu belum pernah, kan dengar tentang dia? Sama saya juga, kok.

Di dalam buku, diceritakan kalau Kent Evans ini adalah sahabat karib Bill Gates sebelum dia bertemu Paul Allen. Dia punya business acumen setara Bill Gates dan technical ability setingkat Paul Allen. Dia ini bisa saja menjadi founder ketiga Microsoft dan memiliki net worth jutaan Dollar kalau dia tidak naik gunung dan meninggal dunia sebelum acara graduasi SMA. Secara matematis, kejadian ini probabilitasnya 1: 1 juta, tapi Kent Evans mengalami nasib tersebut.

Atau ada contoh lain lagi yaitu kisah dari Pak Prajogo Pangestu. Ini tentu tidak ada di buku, tapi ceritanya bisa kamu googling sendiri.

Di kuartal 4 tahun kemarin, setiap saham yang ada afiliasi dengan pak Prajogo kompak naik ugal-ugalan. Pak Prajogo ini pebisnis ulung yang dulu bekerja sebagai supir angkot. Titik balik hidupnya adalah saat pak Prajogo bertemu dengan pengusaha Bong Sun On atau Burhan Uray pada 1960-an.

I mean look at this fact. Seberapa mungkin, sih seorang supir bertemu dengan pengusaha dan bahkan jadi rekan bisnis?

Mayoritas orang definitely akan berpenghasilan biasa-biasa saja. Dan itu gapapa.

Lah, jadi apakah kita mesti pasrah dengan keadaan?

No no no. Maksudnya bukan begitu. I mean jika kita tidak bisa semujur Pak Prajogo, paling tidak kita bisa seperti Ronald James Read.

Di dalam buku, diceritakan kalau dia ini “cuma” seorang janitor alias OB. Tapi kalau kamu Wikipedianya, disebutkan kalau dia adalah American Philanthropist dan investor dengan net worth hampir $8 juta ($6 juta di antaranya didonasikan).

Tapi mengecilkan profesi seseorang, apakah terbersit di pikiranmu kalau ada seorang janitor yang bisa sekaya itu?

Di halaman Wikipedia yang sama juga disebutkan kalau Ronald James Read ini adalah orang yang biasa saja. Dia tidak mengerti teknologi dan sepertinya juga kecerdasannya biasa-biasa saja. Seperti kita-kita ini lah. So so.

Lalu bagaimana caranya dia bisa mengumpulkan duit sebanyak itu?

Strateginya sederhana namun sudah pasti sulit dilakukan: memanfaatkan efek compounding dalam periode waktu yang panjang.

The Compounding effect

Compounding sederhananya adalah menggulung modal. Misalnya modal kita 100 dan dapat cuan 10% alias 10. Next-nya, cuan tadi kita gulung jadi modal. Modal kita jadi 110 (100+10). Dapat cuan lagi 10% alias 11. Rinse and repeat cara ini over the long term dan efek luck tadi akan jadi tidak ngaruh-ngaruh amat ke keuangan kita.

Compounding memang powerful, tapi ada 3 syarat utama supaya impact-nya terasa:

1. High saving rate

Influencer bilang kalau nabung ga bikin kaya. Katanya lebih baik uangnya diinvestasikan aja.

Well, saya rasa ini setengah benar. Soalnya gimana mau investasi kalau ga nabung, sih.

Setahu saya esensi nabung itu menyisihkan sebagian pendapatan. Pendapatan – pengeluaran = saving. Dari sini, bisa kita tahu kalau saving rate = saving/pendapatan x 100%.

Poin utamanya di sini.

Percuma kalau kamu super pintar, pakai formula-formula yang keren dan belajar macam-macam ilmu investasi kalau duitnya tidak ada.

Nah, supaya ada duitnya, sisihkanlah sebagian pendapatan. Kalau sudah bisa, mulailah memperbesar saving rate-nya.

Dan kalau kamu perhatikan formula di atas, memperbesar pengeluaran itu ga ngaruh-ngaruh amat kalau ga dibarengi sama mengontrol pengeluaran 😉

2. Long term horizon

I think this is the hardest part. Berpikir jangka panjang ini sulitnya bukan main. Ga banyak orang yang bisa, termasuk juga saya.

Kalau kamu cari formula compound interest di internet, maka ini lah yang akan muncul.

((P*(1+i)^n) – P)

P adalah modal.

i adalah interest rate (bisa juga expected return).

n adalah waktu.

Lihat bagaimana faktor waktu ini operatornya adalah pangkat, bukan perkalian. Ini artinya impact-nya jauh lebih besar dibanding %return.

Ini juga berarti kalau semakin lama proses compounding ini berjalan, semakin berlipat-lipat pula hasilnya.

Well, sebenarnya semua orang tahu hal ini, sih. Bukan rahasia umum, kok. Googling 3 detik juga ketemu. Tapi melakukannya yang sulit.

Bisa ga kita rutin investasi per bulan selama let say 10 tahun? Kalau bisa, saya sangat sangat respect sama kamu 🫡

3. Boring

Ini ada hubungannya sama nomor 2 di atas.

Supaya proses compounding itu mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Mari kita bedah Warren Buffett. Dia ini orang kaya banget yang majority kekayaannya dari investasi. Udah ada 2000 lebih buku yang membahas bagaimana bagusnya opa Warren dalam berinvestasi. Namun, buku Psychology of Money menegaskan satu fakta sederhana namun penting: Opa Warren udah berinvestasi selama 75 tahun lebih!

Opa Warren mulai berinvestasi sejak umur 10 tahun. Kalau Opa lahir tahun 1930, berarti tahun ini, Opa Warren udah berumur 94 tahun.

Mari kita lihat return-nya, Dari hal ini, sebenarnya hasil investasi Opa tergolong biasa aja. Di buku Psychology of Money, CAGR investasi Opa Warren 22%. Renaissance Technology, hedge fund terkenal yang pakai formula matematika rumit, CAGR-nya 66% annually. 3 kali lipat dari Opa Warren.

Tapi net worth Jim Simons, founder Rennaissance Technology, cuma seperempatnya Opa Warren!

So, kayaknya beneran, deh Opa’s secret is … long time, eh?

Nah, gimana caranya supaya kita stick to one strategy dalam jangka waktu yang lama?

Make it as boring as possible.

Kenapa?

Karena kalau strateginya boring, niscaya effort yang dilakukan akan semakin sedikit. Karena boring, sebaiknya kita memanfaatkan fitur auto invest yang udah jamak di aplikasi-aplikasi. Buat semuanya seotomatis mungkin.

Terus gimana produknya?

Mari kita balik lagi ke kisah Ronald James Read. Dia tidak memakai strategy yang memusingkan, kok. Dia cuma berinvestasi di saham-saham blue chip aja. Tidak pakai riset yang sulit-sulit.

Percayalah, analyst-analyst pasar modal itu relatif sama bingungnya dengan kita. Banyak thesis mereka berubah SETELAH market bergerak.

Jadi apa solusinya?

The safest bet: invest ini diversified portfolio.

Di Amerika Serikat, ada namanya indeks S&P500. Indeks ini isinya adalah 500 saham terbaik (not necessarily the biggest market cap) yang diperjualbelikan di Amerika.

Karena ini cuma indeks, investor ga bisa berinvestasi langsung ke sini. Tapi mereka bisa berinvestasi di reksadana indeks atau ETF (exchange traded fund) yang mengekor indeks ini.

Walaupun tidak mencakup keseluruhan pasar domestik di sana (di sana ada 2000 lebih perusahaan yang udah listing), tapi 500 perusahaan ini lah yang menjadi market mover atau penggerak pasar. Dengan kata lain, kalau S&P500 naik, pasar secara keseluruhan juga naik dan sebaliknya.

Opsi ini adalah safest bet karena kita sebagai investor casual tidak perlu pusing-pusing mencari instrumen terbaik. Kita juga terhindar dari noise atau keributan yang tidak perlu. Pun biasanya fee-nya murah karena dikelola secara pasif (karena cuma ngekor doang).

Bagaimana di Indonesia?

Sayangnya di Indonesia tidak begini. Reksadana indeks dan ETF di sini tidak well-diversified.

Kemungkinan besar ini karena ketiadaan reksadana/ETF yang mengekor IHSG (indeks harga sahan gabungan, bisa dipadankan dengan S&P500 di US).

Reksadana indeks/ETF di sini biasanya adalah mengekor ke LQ45, IDX80, IDX Growth30 yang dari namanya aja udah kelihatan justru malah concentrated. LQ45 isinya 45 saham, IDX80 isinya 80 saham. Padahal jumlah perusahaan yang listing di Indonesia ada 900 lebih.

Not to mention, kriteria dan cara penilaian indeks-indeks tersebut seringkali questionable sehingga kadang ada nama-nama ajaib yang bisa masuk indeks.

Lalu apa solusinya?

Well, this will never be financial advice but this is what I do: invest di reksadana pasar uang dan pendapatan tetap only. Kalau saham, investasi di big banks only.

Kenapa? Karena ini strategi paling boring yang bisa saya pikirkan. So I can do this over and over again effortlessly.

Penutup

Ini tadi adalah bagian paling berkesan buat saya setelah membaca buku Psychology of Money.

Ada banyak insight-insight lain yang tidak bisa saya jelaskan di sini karena nanti jatohnya saya bikin buku, bukan blog post.

Story telling yang bagus membuat buku yang cukup tebal ini enak dibaca (tidak berarti bakal cepat diselesaikan ya). Insights dan nasehat-nasehatnya dibawakan via kisah nyata membuat saya membacanya sambil googling tipis-tipis.

Kedepannya, semoga tulisan semacam ini bisa konsisten dibuat. Karena menarik juga mendokumentasikan apa yang udah dipelajari dan dibaca.

Cheers 🥂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *