Senyum, salam, sapa—tiga hal ini sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita sebagai orang Indonesia. Seperti mie instan yang selalu siap sedia di dapur, budaya ini bikin suasana jadi lebih hangat dan akrab. Bukan hanya untuk menghangatkan hati, senyum dan sapa juga jadi modal utama saat bertemu dengan orang baru. Orang-orang bule aja kagum kok sama keramahan kita. Tapi ya terlalu ramah dan tersenyum terlalu sering juga tidak baik dan malah menjurus ke menyeramkan. Ini kayaknya yang jadi premis di Smile 2 (dan pendahulunya, Smile). Di film ini, senyuman bukan berarti keramahan, tapi kegilaan dan kematian.
Jalan Cerita
Di sekuel ini, kita diajak mengikuti kisah Skye Riley, seorang pop star setara Taylor Swift yang lagi siap-siap untuk memulai kembali tur dunianya yang sempat tertunda.
Sempat tertunda? Memang sebelumnya Skye kenapa?
Skye sebelumnya mengalami perawatan intensif dan direhabilitasi setahun penuh karena menjadi “korban” mengemudi ugal-ugalan aka dalam pengaruh obat-obatan terlarang.
Sebagai project comeback, Skye ingin menampilkan yang terbaik. Sayangnya niat ini terhalang cedera punggung yang masih kerap dia rasakan. Solusi instannya adalah menggunakan obat pereda nyeri dari teman SMA-nya, Lewis Fregoli. Namun disinilah konflik utamanya muncul.
Lewis tiba-tiba menjadi gila. Dia seperti ketakutan akan sesuatu yang kasat mata. Dia bahkan melukai dirinya sendiri dengan brutal di depan Skye.
Sejak saat itu, hal-hal aneh mulai terjadi. Skye mulai sering melihat orang-orang yang tersenyum creepy. Karena merasa sudah mulai gila, dia menelepon sahabatnya Gemma. Sebagai kawan yang baik, Gemma pun menginap supaya Skye bisa agak tenang.
Balik lagi ke persiapan mega konsernya Skye. “Halusinasi” yang dilihat Skye makin menjadi-jadi. Dia makin sering melihat orang-orang tersenyum (atau menyeringai). Singkat kata, Skye sudah hampir tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang bukan.
Skye lalu bertemu sama Morris. Dia ini stranger sih tapi mengaku adalah perawat dan tahu mengenai kejadian aneh yang dialami Skye. Well, Morris sebenarnya juga tidak tahu pasti juga, but he got an idea to stop it: membuat Skye mati suri. Belum tentu berhasil, tapi layak dicoba.
Awalnya jelas Skye tidak mau. Ini terlalu beresiko mengingat sebentar lagi tur duninya dimulai. Tapi kondisi mental Skye makin menjadi-jadi. Dia bahkan tanpa sadar membunuh ibunya sendiri. Dia bahkan tidak sadar kalau Gemma yang selama ini menemaninya ternyata cuma halusinasi. Skye akhirnya mau melakukan “nasihat” gila Morris.
Metodenya sederhana: membekukan otak Skye, membunuhnya lalu menghidupkannya kembali. Easy, what could go wrong, eh?
Sayangnya, entitas jahat itu keburu mengambil alih pikiran Skye. Skye ternyata tidak bersama Morris, tapi ada di atas panggung. Entitas itu mengambil alih raga Skye, sambil disaksikan ratusan ribu penonton setianya.
Impression
Agak beda dengan pendahulunya, di Smile 2, kita langsung diajak ngegas. Teror sudah dimulai dari menit awal, dan believe me, tensinya terus dijaga rapi sampai akhir. Beda memang kalau film udah bagus sejak dari script. By the way, konon opening sequence-nya di-shoot one-take.
Sebagai film horror, momen jumpscare-nya terbilang lumayan banyak tapi susah ditebak kemunculannya. Peletakan dan eksekusi kejutannya terbilang tidak klise. Kamu niscaya bakal jarang menemukan suasana yang tiba-tiba jadi sunyi, pelan-pelan menegang, terus jumpscare-nya muncul disertai scoring yang memekakkan telinga. Tapi di Smile 2, banyak kejutan yang bikin kita selalu nggak siap menghadapi elemen horornya. Di film ini, kamu bisa kaget cuma gara-gara prompter yang macet. Oh, dan scoring-nya sungguhlah bikin telinga tidak nyaman dan bikin was-was.
Pendekatan horor psikologisnya juga nggak kalah gila. Informasi tentang mental state si Skye ini seolah berceceran dan kita sebagai penonton juga ikut acak-acakan pikirannya. Kita diajak mengalami halusinasi yang bikin tidak nyaman di kepala. Hantunya praktis cuma muncul di akhir, tapi sukses bermain-main di pikiran korban (dan pikiran audience) di sepanjang durasi. Seperti Skye, kita jadi tidak tahu mana realita dan mana yang delusi.
Parker Finn, selaku sang sutradara dan penulis cerita, kelihatan banget ingin all out di sekuel ini. Kelihatan banget kalau production value-nya jauh lebih besar dari pendahulunya. Pemilihan karakter utama yang adalah seorang pop star ini adalah keputusan brilliant. Ini menggaransi kalau impact-nya akan lebih besar, possibly bisa berefek ke satu negara.
Kredit lebih juga harus diberikan ke pemeran Skye. Aktingnya bener-bener bagus banget sih. Ekspresinya sangat meyakinkan.
Akhir kata, Smile 2 ini bagus segalanya, baik dari script, scoring, akting sampai eksekusi kameranya. Plot twist yang bertebaran, darah muncrat kemana-mana, karakterisasi yang kuat, plus ditambah konklusi yang tidak happy ending tapi anjim banget ini membuat Smile 2 amat layak kamu tonton di layar lebar dengan sound system maksimal.
Anyway, I find this song nyaman banget di telinga.
Leave a Reply