Pernah terpikir kenapa winger-winger jaman dulu lebih explosif dan suka gocak gocek dibanding sekarang yang monoton dan doyan backpass?
Ini terjadi karena ada revolusi dalam permainan sepakbola. Kalau dulu permainan banyak didominasi oleh flair atau kemampuan individu pemain, sekarang pemain dituntut untuk bergerak sesuai sistem.
Di era modern, strategi permainan dan formasi tim menjadi kunci utama dalam menentukan hasil pertandingan. Pelatih dan manajer sekarang lebih fokus pada penempatan posisi pemain, pola serangan, dan pertahanan yang terstruktur. Pep Guardiola boleh jadi adalah yang mengenalkan hal-hal ini. Sistemnya rigid. Pemain bahkan harus bergerak dan mengoper sesuai apa yang dia rencanakan. Walaupun banyak yang mengeluh kalau hal ini membuat sepakbola tidak menarik, toh buktinya menggaransi gelar juara.
Transformasi ini membuat sepak bola modern menjadi lebih kompleks dan menuntut pemain untuk tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga pemahaman taktik yang mendalam. Ini lah yang akan kita lihat dalam perjalanan karir seorang Aoi Ashito di anime Ao Ashi.
Jalan cerita
Karakter utama kita adalah Aoi Ashito, seorang pemain sepak bola paling jago di sebuah SMP di kota kecil Ehime. Di sana, Ashito adalah pusat permainan. Bak Tsubasa Ozora, Ashito meng-carry timnya sendirian. Di suatu pertandingan, setelah timnya menyamakan kedudukan, Ashito termakan provokasi kiper lawan dan menanduknya. Ashito di kartu merah dan timnya pun tersingkir dari turnamen.
Kelakuan Ashito di pertandingan tadi membuatnya gagal mendapat rekomendasi beasiswa ke SMA favoritenya. Ashito dianggap egois dan temperamental. Di momen-momen terbawahnya itu, Ashito bertemu Tatsuya Fukuda, seorang pelatih dari akademi sepak bola di Tokyo. Ashito terkesan sama kemampuan olah bola Fukuda yang pamer skill tanpa diminta. Tapi Fukuda lebih terkesan lagi sama visi bermain dan spatial awareness Ashito. Ashito bisa mengingat dengan detil sequence kejadian yang terjadi di pertandingan kemarin.
Fukuda melihat potensi besar dalam diri Ashito dan mengajaknya untuk bergabung dengan akademi yang dia latih, Junior Esperion Youth. Fukuda memberi Ashito kesempatan untuk mewujudkan mimpinya menjadi pemain profesional di sana.
Sampai di Tokyo, Ashito tertampar realita kalau bakat dan kemampuannya itu tidak spesial dan cenderung buruk. Ashito, yang ingin jadi striker, cuma berpikir untuk mencetak gol, which is sudah tidak relevan lagi di jaman sekarang. Menurut Fukuda, Ashito memang punya bakat, tapi tidak terasah dengan baik. Posisi striker pun tidak sesuai untuk memaksimalkan potensinya. Oleh karena itu, Fukuda meminta Ashito untuk pindah posisi menjadi seorang full-back (sisi kiri kalau ga salah ingat). Ini artinya, Ashito memang boleh menyerang dari sisi lapangan, tapi prioritas utamanya adalah bertahan.
Ini adalah tamparan keras buat Ashito. Selama ini dia cuma tahu soal membawa bola ke depan gawang dan mencetak gol. Tapi supaya tidak dikeluarkan dari akademi, Ashito tetap menerima tawaran dari Fukuda.
Ashito jelas menjadi kikuk bermain di posisi itu. Dia tidak biasa bertahan menjaga pemain. Dia tidak biasa menjaga garis pertahanan. Tapi Ashito pantang menyerah karena dapat full-support sama Hana dia tidak mau kalah dengan pemain akademi lainnya. Pelan tapi pasti, Ashito jadi bisa beradaptasi dengan posisi dan peran barunya itu.
Impression
Sebagai pendengar (atau penonton) Box2Box bola, saya jauh lebih enjoy menonton Ao Ashi ketimbag Blue Lock. Blue Lock tidak buruk, tapi terlalu fantasi sementara Ao Ashi sangat membumi.
Ceritanya sarat akan taktik dan strategi sepakbola modern yang tidak melulu soal posisi pemain tapi peran. I mean, seorang striker “tidak perlu harus” mencetak gol. Kadang perannya adalah untuk membuka ruang buat pemain lain (seperti Giroud di Timnas Prancis). Karena Ashito punya spatial awareness, visi dan kemampuan playmaking, dia dipindah posisinya dari striker ke full-back. Lah kenapa bukan jadi Defensive Midfielder, gitu?
Ini untuk “melindungi” Ashito dari pressing lawan. Playmaking butuh ruang dan waktu untuk melepas passing. Dengan diposisikannya Ashito di sisi lapangan, pressing lawan praktis akan lebih lebih terbatas (tidak bisa diterjang 360 derajat). Siapa pemain di dunia nyata yang seperti ini? Yup Trent Alexander Arnold (Liverpool) dan Olekzander Zhinchenko (Arsenal).
Hal-hal yang taktikal kayak gini yang ga ada di Blue Lock yang setiap pemainnya kayak orang gila semua.
Selain itu, Ashito di sini agak mengingatkan saya sama Eijun Sawamura dari Diamond no Ace. Kedunya punya bakat “spesial” tapi teknik dasarnya kacrut dan masih kasar. Cuma jadi liability kalau tidak padu dengan rekan setim. Untungnya, mereka berdua punya kedisiplinan yang membantu mereka meng-overcome keterbatasan-keterbatasan itu.
Dari segi visual, Ao Ashi sudah tentu inferior dibandingkan dengan Blue Lock. Gaya animasi Ao Ashi masih terkesan jadul. Animasinya memang dinamis tapi tidak se-fluid Haikyuu, terutama di Haikyuu: Dumpster Battle.
Kesimpulan
“Ao Ashi” adalah anime olahraga yang menghibur dengan plot yang realistis, karakter yang kompleks, dan animasi yang fluid. Ao Ashi ini cocok penggemar sepak bola dan terlebih buat kamu-kamu yang gemas sama sepakbola menyerang dan atraktif ala Pep Guardiola. Lewat Ashito, “Ao Ashi” berhasil menangkap esensi dari semangat dan determinasi dari seorang atlet muda.
Anime Ao Ashi bisa ditonton di Disney+.
Leave a Reply