Kalau boleh mewakili perasaan hewan, saya mungkin akan memilih untuk mewakili perasaan shark atau hiu. Di banyak media, shark ini digambarkan sebagai hewan buas yang doyan menjadikan manusia sebagai makanan.
Mulai dari Jaws sampai Sharknado, shark dan bermacam-macam handai tolannya hampir selalu digambarkan sebagai sosok antagonis dan manusia sebagai sosok hero-nya. Padahal, kalau diibaratkan sebagai manusia, saya rasa hiu adalah sosok sigma, mirip seperti Thomas Shelby di Peaky Blinder. Introvert tapi berkharisma.
Ini beneran. Hewan kalem(?) ini adalah korban dari stereotyping media. Mentang-mentang bergigi tajam, menjadikan hiu sebagai antagonis sungguhlah mudah. Tapi sebenarnya tidak begitu. Nenek moyang hiu (megalodon lol) sudah ada jauh sebelum manusia ada. So, secara natural, hiu tidak ada kepentingan sama manusia karena makanan utamanya adalah ikan yang lebih kecil, singa laut, anjing laut, dll tergantung jenis spesiesnya.
Sangat sedikit hewan yang “mengkonsumsi” manusia. Hiu termasuk ke dalam jenis hewan itu. Kalau hiu sampai menyerang manusia, itu biasanya karena mereka salah mengira manusia yang sedang berenang sebagai hewan mangsanya.
Hiu memiliki penglihatan yang buruk. Mereka “melihat” lingkungan sekitar via bau, suara dan bahkan gelombang listrik. Inilah kenapa ada larangan kalau kamu tidak boleh menceburkan diir ke laut kalau lagi berdarah.
Hiu juga hewan yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Selayaknya hewan lain, mereka memenuhi rasa ingin tahunya lewat mulut. Sayangnya, gigi mereka tajam. So, apa yang mereka kira sebagai elusan, terasa seperti gigitan lol.
Kalau boleh jujur, sebenarnya hiulah yang seharusnya takut kepada manusia, bukan sebaliknya. Di tahun 2023, tercatat ada 120 kasus serangan hiu yang tercatat, alias 10 kasus per bulan. Terlihat banyak, tapi mari lihat sisi sebaliknya. Ada 80 juta hiu yang diburu manusia per tahun.
80 JUTA PER TAHUN!
Di lautan, hiu memang apex predator. Tapi di mata manusia, hiu “hanya” sekadar menu di atas meja makan.
Fakta ini berbanding jelas berbanding terbalik dengan apa yang kita lihat di berbagai media populer. Hiu selalu digambarkan sebagai sosok antagonis, dan selayaknya peran penjahat pada umumnya, mereka selalu akan kalah dan mati.
Ini tidak terjadi di Under Paris.
The plot
Film berbahasa Prancis ini adalah sebenarnya digolongkan sebagai B-movie, alias dibuat dengan low budget. But surprisingly, cukup menyenangkan ditonton (The Guardian pun setuju sama statement ini). Vibes-nya seperti kamu nonton Godzilla x Kong: New Empire gitu kali ya. Tidak perlu dipikir, cukup dinikmati saja.
Tokoh utama kita adalah Sophia, kepala peneliti yang kehilangan rekan-rekannya saat seekor hiu menyerang mereka di Great Pacific Garbage Patch (tempat ini nyata btw). Ternyata, iu jenis Breadtalk Mako dengan codename “Lillith” ini bermutasi menjadi lebih besar dari seharusnya.
Bukan cuma itu, Lillith juga beradaptasi dengan air tawar di Sungai Seine.
Yup, di waktu yang berdekatan dengan diadakannya event triathlon di Paris, Lillith “terjebak” di kedalaman sungai di pusat kota fashion dunia itu.
Hal ini belum diketahui oleh polisi sungai yang dipimpin oleh Adil. Kenapa sampai ada polisi yang patroli di Sungai Seine?
Ada banyak faktor, tapi salah satunya untuk mencegah orang-orang secara tidak sengaja mengaktifkan bom jaman perang yang ada di dasar sungai Seine.
Keberadaan Lillith di sungai Seine diketahui oleh Mika, seorang aktivis lingkungan hidup yang kayaknya problematik. Dia percaya dia bisa “membantu” Lillith kembali ke laut selayaknya melatih Poodle. Masalahnya, dia tidak tahu kalau Lillith ini hiu “mutant”.
Saya sebut sebagai mutant, selain karena ukurannya yang besar dan bisa hidup di fresh water, adalah karena Lilith ini bisa berkembang biak tanpa perlu kawin (parthogenesis istilahnya). Ini membuat anak-anak Lillith bisa menginvasi sungai Seine kapan saja.
Sophia dan Adil sudah mengendus masalah ini. Mereka juga sudah mengikuti prosedur dengan memberi tahu walikota Paris (saya lupa namanya). Tapi selayaknya politikus, walikota tidak ingin membuat kegaduhan publik, dan meng-ignore saran dari scientists. Akhirnya, event triathlon tetap dijalankan, tapi dengan dibantu penjagaannya oleh militer.
Lalu apa yang dilakukan Sophia, Adil dan anggota polisi sungai lainnya?
Mereka berencana untuk menyergap sarang Lillith serta anak-anaknya lalu meruntuhkannya dengan bom. Rencana yang matang sebenarnya tapi mereka lupa kalau selalu ada room of error di setiap plan.
Ini diperparah dengan militer yang membuat situasi makin kacau.
Di akhir durasi, hiu 1 – 0 manusia.
Cukup nikmati saja
Seperti yang sudah saya singgung di awal, Under Paris adalah film B-movie. Kamu tidak perlu mikir keras untuk mengerti logika filmnya, karena ya memang tidak perlu ditunjukkan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa hiu bisa hidup di air tawar? Kenapa hiu bisa berenang di sungai yang notabene tidak sedalam lautan? Gimana caranya hiu bisa nyasar ke sungai dalam kota yang notabene punya sistem lock yang kompleks?
Semua jawabannya direduksi jadi “hiunya bermutasi”. Sesederhana itu.
Logika walikotanya pun sederhana cenderung konyol. Dia sudah tahu kalau ada makhluk ganas di sungai, tapi dia abai sama scientist. Ini memang trope di banyak film, sih tapi Under Paris membuatnya beyond that sampai di tahap tidak melakukan apapun.
Di film lain kan, stakeholder-nya minimal bikin persiapan macem-macem, kan. Di Under Paris, si walikota cuma bekerjasama dengan militer dengan harapan bisa menembak mati monster yang berenang di sungai (yang tidak jernih-jernih amat itu) dengan senapan dari atas kapal.
Gagal pikir walikota ini bikin akhir nasibnya sangat menyenangkan ditonton lol.
Kematian orang-orang di Under Paris memang asik ditonton. Selain si walikota, kematian Mika si aktivis juga melegakan. Kenaifannya bikin penonton bersorak saat dia diamakan.
Under Paris memang jauh dari level The Shallows. Peringkatnya ada di antara The Meg dan Sharknado. Intinya tonton ini kalau kamu butuh sesuatu yang tanpa mikir tapi fun.
Leave a Reply