Salah satu konten yang sekarang saya sering like di Instagram adalah yang isinya sarkasme ke kehidupan pekerjaan. Ada salah satu akun yang bahkan mengibaratkan aktivitas bekerja selayaknya medan perang. Dan ini rasanya makin benar akhir-akhir ini. Satu lowongan, regardless the title, grade and whatever, menarik ribuan pelamar baik dari fresh graduate dan orang-orang dengan more than 3 yoe (years of experience).
Lulusan baru dipaksa mengambil pekerjaan yang tak ada hubungannya dengan gelar. Beberapa bahkan rela dibayar mepet UMR dan kadang tidak cukup untuk hidup happy di kota besar. Di sisi lain, para pekerja berpengalaman “dipangkas” atas nama efisiensi perusahaan. Uang pesangon mengecil sementara melapor ke dinas terkait kadung melelahkan. Yang stay di tempat kerja mendapat beban kerja tambahan, but hey at least they have income stability. Ini adalah realita saat ini yang bisa kamu tonton di CNA atau bahkan kamu rasakan di kehidupan sekitar.
Bagi yang mereka yang “tertinggal”, gig economy adalah pilihan yang inevitable. Tidak sampai 5 tahun lalu, dunia mengagung-agungkan jenis pekerjaan ini. Siapa yang tidak tertarik untuk bekerja tanpa office politics, tanpa perlu 9-5, dan menjadi “boss” untuk diri sendiri?
Turns out, I am so sorry to say this, it brings the worse of both worlds: kelelahan yang sama seperti pekerjaan formal, tapi tanpa asuransi dan tanpa pensiun. Sebuah film dari China sana secara apik berhasil meng-capture hal ini.
Judulnya Upstream dan sudah bisa ditonton di Netflix.
Sinopsis
Upstream mengikuti kehidupan karakter utama kita, Gao Zhilei, seorang division head yang harus banting setir dari pekerja kerah putih menjadi gig worker a.k.a driver ojol (food delivery sih lebih tepatnya but whatever). For context, di China sana konon ada ungkapan suram yang beredar di dunia profesional— “the curse of 35”—yang berarti siapa pun di atas usia itu berarti harus siap digantikan oleh orang yang lebih muda.
Gao, di usianya yang ke-40, akhirnya harus merasakan kutukan ini. Dia dipaksa mengundurkan diri dan menerima pesangon yang jauh di bawah standar. Dia juga tidak bilang ke istrinya kalau dia sekarang menganggur. Kenapa? Karena dia merasa malu dan tidak berharga.
Gao berhasil merahasiakan status barunya selama 2 bulan. Tapi di bulan ketiga, Istirnya pun akhirnya tahu juga. Alih-alih marah dan mengamuk (well, iya sih marah tapi cuma sebentar), istrinya memilih untuk ikut menopang keluarga dengan kembali mengajar drum. Sementara Gao melakukan hal yang dulu dia pandang rendah—menjadi kurir makanan.
Sebagai mantan pekerja kerah putih, profesi barunya ini jelas bikin dia shock. Tidak ada lagi perks seperti laptop, software, makan siang, etc. yang disediakan perusahaan. Yang ada dia justru harus membayar semuanya sendiri, seperti seragam, helm, motor, bahkan asuransi. Alhasil, di bulan pertama bukannya untung malah boncos karena Gao mendapat ulasan buruk, penalti dan lain-lain. Di bulan itu, dia cuma mendapat ¥4.000. Padahal kebutuhan keluarganya menyentuh ¥15.000.
Bulan kedua tidak lebih baik. Akunnya bahkan di-suspend. Tapi di masa itu, Gao belajar menjadi driver yang lebih baik. Dia beradaptasi. Gao sadar kalau dia tidak hanya perlu bekerja lebih keras, tapi lebih pintar.
Gao belajar dari driver yang lebih berpengalaman. Dia memaksakan senyum di wajahnya walaupun usernya rese. Tidak sampai di situ saja. Dengan bekal masa lalu sebagai programmer, Gao membuat aplikasi untuk mengoptimalkan rute pengiriman sehingga bisa memangkas waktu tempuh.
Uniknya, Gao tidak menyimpannya sendiri. Kenapa? Karena tak seperti dunia kantor yang saling sikut, gig economy menjunjung tinggi solidaritas dan loyalitas kepada fellow drivers, bukan kepada perusahaan.

Lebih dari sekadar menjadi ojol
Upstream adalah sebuah alegori. Film ini dengan luwes menggabungkan satir dan nestapa yang sekarang-sekarang ini kita temui di berita-berita, atau bahkan di lingkungan sekitar. Untungnya, cerita (agak) dibalut dengan komedi sehingga tidak terlalu sedih, tapi cukup membuat miris. Bagaimana tidak, Upstream dengan baik meng-capture perilaku kita sebagai konsumen yang suka seenaknya ke driver karena kita bisa seenak jidat memberi bintang 1. Harus diakui kalau di gig economy, konsumen benar-benar adalah raja, either jadi raja yang bijak atau tidak.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Upstream sejatinya adalah film horror psikologis. Saking dekatnya dengan realita, ketakutannya benar-benar terasa. Ekonomi berbasis platform sudah, kalau meminjam kata-kata Timothy Ronald, memperbudak manusia. Algoritma seolah membentuk kasta modern di mana satu dimana manusia dikuantifikasi dan diberi label peringkat. Dan ironisnya semua driver mengejar label itu karena bisa meningkatkan pay per order yang akan mereka terima nantinya. Inilah kenapa, kalau kamu nonton udah nonton filmnya, driver-driver itu lebih mementingkan done order dibanding nyawa sendiri. Tidak ada yang lebih horror dari “terjebak” di situasi ini.
Soal eksekusi visual, saya berani bilang kalau Upstream berani bereksperimen, dan itu berhasil!
Permainan kameranya menciptakan rasa urgensi sepanjang film. Kamera nyaris tak pernah diam, dan kamu akan senantiasa merasa terburu-buru seperti para driver itu. Sudut dashcam, overlay penanda waktu, dan teknik zoom in dan zoom out liar yang mengekor driver membuat penonton ikut terengah-engah. Ini belum ditambah dukungan sound yang baru saya temui di sini. Imagine a scene dimana Gao lagi melintasi kemacetan dengan terburu-buru, tapi musik latarnya menggelegar dan bikin deg-degan. Ini bikin saya lupa sesaat kalau Upstream adalah film tentang ojol, bukan agen rahasia.
Namun di tengah semua kemewahan visual itu, Upstream tak melupakan penceritaan yang “gelap”. Ada satu scene dimana Gao memarahi ojol yang mengantar pesanan kopinya. Scene ini di-recall dengan posisi Gao yang menjadi ojol yang dimarahi itu, di lokasi kantornya dulu! Ironis sekali, but that’s life.
Cerita hantu yang seram
Di banyak review, Upstream tapi kalau dipikir-pikir mungkin ini lebih ke film horror. Karena ketakutannya nyata. Ia mencerminkan bagaimana kita di dunia kerja sana sejatinya adalah pasukan expendanble. Kita bisa dengan gampangnya digantikan dengan yang lebih muda, lebih murah, lebih cepat. Film ini bukan sekadar relevan—tapi juga warning.
Satu-satunya yang saya tidak suka mungkin ada di akhirnya. Film memilih akhir yang utopis: keterampilan pemrograman Gao akhirnya di-notice oleh kantor pusat. Ini terasa jomplang dengan bagian awal dan tengah ceritanya yang realistis tapi endingnya hampir tidak mungkin terjadi. Penyelesaian yang terasa terlalu rapi untuk kenyataan yang semrawut.
Dan lebih penting, film ini menghindari menyentuh “the real evil”: platform. Mayoritas isi film Upstream membahas konflik Gao dengan pelanggan dan rekan kerja, tapi entah kenapa film ini mengabaikan peran platform. Padahal, platform kayaknya adalah pihak yang benar-benar bisa membuat perubahan nyata dan langsung terasa. Ya mungkin saja pendekatan Upstream adalah untuk menunjukkan semangat dan ketangguhan manusia, sampai melupakan kesalahan sistem yang terstruktur.
Akhir kata, Upstream adalah film yang bagus. Banget.
Leave a Reply